"Maling Kandang": Cerita Pengantar Tidur Rakyat

Judul “Maling Kandang”: Cerita Pengantar Tidur Rakyat muncul ketika melihat pemberitaan di televisi (Selasa, 13 Januari 2015) seputar penetapan calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Cuma Catatan Harian Biasa

Tulisan ini cuma catatan harian biasa sebagaimana judul yang terpancang (terpampang, pen) nyata di atas. Sahabat-sahabat kompasianer boleh dengan leluasa memutuskan untuk mau membaca catatan ini atau langsung saja pindah ke lain hati.

Jayalah di Laut, Indonesiaku!

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki perbandingan luas wilayah laut dan daratan sebesar 70% : 30%. Luas keseluruhan wilayah Indonesia didominasi oleh 2/3 wilayah laut dan hanya 1/3 wilayah daratan.

Panggung Rising Star Indonesia Gagal “Ber-endang-endut”.

Rising Star Indonesia (Only Star Will Rise!) di RCTI, Jumat 28 November 2014, memasuki babak Lucky Seven yang mengusung tema “Dangdut dan Melayu”.

Sakitnya tuh di sini…! Di gigi ini…!

Tulisan ini sengaja dibuat bertele-tele, tidak “to the open” (maksudnya: to the point). Maklum napsu curhat lagi berada di puncak tertinggi! Sebenarnya poin dari tulisan ini adalah “cara mudah dan ampuh menghilangkan rasa sakit di gigi yang sangat membandel/menyiksa.”

Senin, 21 Juli 2014

KASAK-KUSUK PERILAKU POLITIK (2)


Oleh: Pietro T. M. Netti

“Apakah benar dalam berpolitik dan berdemokrasi tidak mengenal atau tidak perlu melibatkan moral dan etika?”

“Bagaimana mungkin kita sebagai manusia ciptaan TUHAN yang adalah subyek politik dan subyek demokrasi tidak perlu memiliki moral dan etika?”

“Bagaimana mungkin kita sebagai manusia yang beradab yang sejak lahir telah ditanamkan nilai-nilai moral dan nilai-nilai etika sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, agama dan kepercayaan kita masing-masing seketika harus menjadi manusia yang tidak bermoral dan tidak beretika hanya karena menjadi manusia politik dan manusia demokrasi?”

“Mungkinkah benar bahwa politik dan demokrasi membuat kita menjadi manusia biadab?”

Pertanyaan-pertanyaan di atas sekiranya dapat mematahkan anggapan-anggapan yang menyatakan bahwa politik dan demokrasi tidak ada sangkut-pautnya dengan nilai-nilai moral dan etika dan bahkan nilai-nilai agama. Pertanyaan-pertanyaan di atas juga sekiranya dapat merubah pola pikir dan anggapan banyak pihak bahwa politik dan demokrasi itu kotor dan/atau tidak bermartabat tidaklah benar.

Ungkapan “Ini politik, bung!” tidak diartikan sebagai sesuatu hal yang harus tidak benar, harus tidak baik, harus tidak bermoral, harus tidak beretika, harus negatif, harus kotor, harus tidak bermartabat, dan seterusnya, dan seterusnya. Yang tidak benar, yang tidak baik, yang tidak beroral, yang tidak beretika, dan yang seterusnya bukanlah politiknya dan bukanlah demokrasinya, melainkan para pelaku politiknya dan para pelaku demokrasinya.

Berikut ini adalah kutipan dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas tentang makna/definisi Politik dan Demokrasi:

“Politik (Yunani: Politikos) adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.

Di samping itu, Politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.”

“Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.”

Berdasarkan kutipan makna/definisi di atas, jelaslah bahwa politik dan demokrasi adalah dua hal yang sama sekali tidak mencerminkan keburukan apapun sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya. Ungkapan “Ini politik, bung!” dan anggapan-anggapan miring tentang politik dan demokrasi hanyalah ciptaan para pelaku politik dan pelaku demokrasi yang belum (sekali lagi: belum) memiliki kematangan dan kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi.

“Mereka adalah kaum oportunis busuk yang tidak memiliki wawasan kebangsaan yang luas, hanya mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain dan kepentingan rakyat banyak! Mereka adalah para politisi busuk yang memanfaatkan politik dan demokrasi semata-mata sebagai ladang nafkah bagi kelangsungan hidup mereka. Mereka adalah elit rakus yang menjadikan politik dan demokrasi sebagai kuda tunggangan demi meraup harta dan tahta!”

Pesta Rakyat kali ini (khususnya Pilpres) yang menyisakan begitu banyak trauma, luka dan sakit hati yang mendalam patut menjadi pelajaran berharga bagi setiap anak bangsa. Kita perlu kembali menata keseimbangan pikiran dan perasaan yang telah porak-poranda diterpa badai pilpres. Kita pun diharapkan untuk kembali mengatur pola tindakan kita yang sempat lumpuh dihantam tsunami pilpres untuk kembali kepada nilai-nilai moral dan nilai-nilai etika dalam perikehidupan berbangsa.

Saatnya kini kita bersatu kembali sebagai sesama anak bangsa di negara bertanda nama Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyambut peralihan kekuasaan dengan damai serta mendukung Presiden-Wakil Presiden Terpilih yang baru untuk masa jabatan 5 tahun ke depan. Siapapun pemenangnya yang akan diumumkan pada Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum 22 Juli 2014 nanti, dialah Presiden kita: Presiden Republik Indonesia, dan dialah Wakil Presiden kita: Wakil Presiden Republik Indonesia.

“Salam Indonesia Raya!”

KASAK-KUSUK PERILAKU POLITIK (1)


Oleh: Pietro T. M. Netti

Pemilu kali ini, khususnya Pilpres (9 Juli 2014), tercatat menghadirkan angka partisipatif pemilih tertinggi dari rakyat Indonesia di dalam sejarah pelaksanaan pemilu di masa reformasi. Angka partisipatif rakyat menjadi sangat tinggi karena lahirnya kesadaran rakyat untuk menyalurkan hak suaranya untuk memilih calon presiden/calon wakil presiden yang menjadi pilihannya.

Angka partisipatif yang tinggi ini juga dipicu oleh munculnya dua figur capres-cawapres yang diyakini bisa membawa perubahan signifikan bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara. Rakyat merasa seperti memiliki harapan baru dengan hadirnya dua figur calon tersebut dengan visi-misi yang menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi negeri ini.

Keberpihakan terhadap calon-calon pun berdatangan. Partai-partai politik membentuk koalisi dukungan (bersyarat dan tanpa syarat). Elit-elit politik merapat dan membentuk tim pemenangan calon (tim sukses). Relawan-relawan pun bermunculan, rela bekerja siang dan malam untuk menyukseskan figur yang diusung. Tidak luput media-media massa nasional (cetak/elektronik) pun terjebak dalam ketidaknetralan dalam peliputan dan pemberitaannya. Maka terbentuklah kubu-kubuan keberpihakan mulai dari tingkat atas/elit sampai tingkat bawah/rakyat kecil.

Kubu-kubuan ini menimbulkan gesekan-gesekan yang sekiranya tidak perlu terjadi. Negative dan/atau Black Campaign diciptakan oleh satu kubu untuk mendiskreditkan kubu yang lain tanpa memperhatikan keadaban dalam masyarakat. Keberpihakan yang ada telah terjerumus dalam fanatisme sempit yang tidak lagi melibatkan penggunaan nalar dan akal sehat. Keberpihakan membabibuta yang ditunjukkan sungguh mempertontonkan sebuah kemerosotan moral dan etika yang sedang dialami oleh anak bangsa di negeri ini, yakni sebuah negeri yang mengaku berketuhanan dan berperikemanusiaan.

Saling serang secara terbuka marak terjadi dimana-mana baik oleh elit pendukung, elit partai, maupun media masa pendukung dan kemudian diikuti/ditiru oleh pendukung di akar rumput. Caci-maki dan bahkan fitnah berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) menjadi menu harian di media-media sosial tanpa rasa takut berdosa dari si pembuat/penyebar fitnah.

“Sungguh memprihatinkan!”

Kubu/kelompok lain seolah-olah telah menjadi musuh yang harus dibunuh/ditumpas. Segala cara ditempuh hanya semata-mata untuk menciderai kubu/kelompok lawan. Kebenaran dan kebaikan hanya milik kubu/kelompok sendiri.     

Elit yang melek politik, yang seharusnya menjadi dan/atau memberikan teladan yang baik justru menciderai pertumbuhan demokrasi yang telah susah payah dibangun. Elit telah menjadi preseden buruk bagi pendukung di akar rumput.

Sabtu, 19 Juli 2014

KASAK-KUSUK PESTA RAKYAT


Oleh: Pietro T. M. Netti

                Ada fenomena menarik yang dapat dilihat pada pelaksanaan Pesta Rakyat (Pesta Demokrasi): Pemilihan Umum Legislatif/Pileg (9 April 2014) dan Pemilihan Umum Presiden/Pilpres (9 Juli 2014) yang baru saja kita lewati. Fonemena yang menonjol terjadi adalah keberpihakan politik dari rakyat sebagai konstituen pemilih yang sangat kuat terhadap calon-calon yang dijagokannya.

                Dalam kenyataan di lapangan, terlihat dengan sangat jelas keberpihakan yang sangat kontras pada dua event politik ini. Pileg melahirkan kasuk-kusuk keberpihakan yang sangat kuat di kalangan rakyat kecil (kalangan menengah ke bawah), dan sebaliknya Pilpres melahirkan kasuk-kusuk keberpihakan yang sangat kuat di kalangan elit (kalangan menengah ke atas).

                Kasak-kusuk keberpihakan yang saya maksudkan adalah kecenderungan memihak calon-calon baik legislatif maupun presiden-wakil presiden yang dapat memungkinkan terjadi gesekan-gesekan horizontal berupa perpecahan, pertikaian dan konflik antar individu dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

Kasak-kusuk keberpihakan ini terjadi oleh karena kecenderungan memihak yang tidak dilandaskan pada penggunaan nalar dan akal sehat, tapi semata-mata hanya melibatkan perasaan yang ujung-ujungnya terjebak pada fanatisme sempit yang membabibuta.

Keberpihakan seperti ini adalah keberpihakan subyektif yang cenderung tidak obyektif. Isu hubungan kekeluargaan, kesamaan suku, agama, ras dan antar golongan menjadi landasan keberpihakan kebanyakan orang (baca: elit & rakyat kecil) tanpa melihat track record (rekam jejak) yang pernah ditorehkan oleh calon yang didukung dan tidak lagi mempertimbangkan latar belakang kompetensi, kapabilitas dan integritasnya (bibit-bebet-bobot-bubut-babat).  Fenomena ini memang patut disayangkan, tapi itulah kenyataannya.

Keadaan ini tidak hanya terjadi pada konstituen pemilih di kalangan menengah ke bawah (rakyat kecil dan yang kurang/tidak terdidik) tapi juga dialami oleh konstituen pemilih pada kalangan menengah ke atas (elit dan yang terdidik) sekalipun. Hal ini mencerminkan kematangan berpolitik dan kedewasaan berdemokrasi  dari anak bangsa di negeri tercinta ini yang masih jauh dari harapan yang sesungguhnya.

Kematangan berpolitik dan kedewasaan berdemokrasi yang masih minim inilah yang sangat berpotensi menciptakan ketidakharmonisan di antara sesama anak bangsa, menjadi ancaman terhadap disintegrasi, dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Rakyat menjadi terkotak-kotak menjelang dan bahkan sesudah pesta demokrasi berakhir hanya karena meliliki perbedaan dalam keberpihakan politik.

Pembenaran-pembenaran hanya terjadi di dalam kelompok sendiri yang memiliki kesamaan pola pikir dan cara pandang. Kelompok lain selalu dianggap salah. Kelompok yang satu cenderung menjatuhkan kelompok yang lain. Tidak jarang negative campaign (kampanye negatif) dan bahkan black campaign diciptakan sebagai senjata penyebar fitnah terhadap lawan politik.

Segala cara dihalalkan atas nama menjaga dan melindungi kepentingan kelompoknya. Tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan moral dan etika dalam berpolitik dan berdemokrasi. Tidak ada lagi rasa kemanusian yang muncul dalam pola pikir dan tindakan dengan dalih: “Ini politik, bung!”, seolah-olah politik dan demokrasi adalah bidang ilmu tersendiri yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan moral, etika, dan bidang-bidang ilmu lainnya. Politik dan demokrasi dipakai menjadi alat dan/atau dipakai sebagai alasan menyerang/menciderai, dan bahkan memfitnah lawan politik.

Sungguh sebuah perilaku politik yang sulit diterima nalar dan akal sehat, baik ditinjau dari segi apapun. Pesta rakyat (khususnya Pilpres) yang seharusnya menjadi hajatan demokrasi yang memberi kegembiraan politik berubah menjadi ajang perseteruan nasional: caci-maki nasional, dan fitnah nasional.  

Sungguh disayangkan ajang perseteruan nasional ini diciptakan oleh konstituen pemilih kelas menengah ke atas yang adalah kalangan terdidik/berpendidikan dan/atau kalangan elit. Tercatat ajang perseteruan nasional ini baru pernah terjadi pada Pilpres kali ini (pada masa kampanye) dan terburuk dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Itu semua adalah hasil karya dari kaum terdidik/berpendidikan (kalangan elit).

Itulah wajah elit bangsa kita yang terdidik/berpendidikan, hanya karena keberpihakan politik yang abnormal, telah rela kehilangan nalar dan akal sehat. Fanatisme sempit yang membabibuta telah melumpuhkan pola pikir logis dan rasional yang berimbas pada pola tindakan yang menyimpang dari peradaban (biadab). Kelakuan elit yang tanpa nalar dan tanpa akal sehat ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi rakyat kecil (kalangan menengah ke bawah/tidak terdidik/kurang berpendidikan).

Selasa, 08 Juli 2014

SAYA MEMILIH JOKOWI (2)


Oleh: Pietro T. M. Netti

Jika dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin lain yang ada di negeri ini baik dari daerah sampai ke pusat, orientasi mereka hanya pada harta dan tahta. Pemimpin-pemimpin yang lain hanya menganut paham “tinggi gunung seribu janji” dan “lain di bibir lain di hati”.

Segala kebaikan diri direkayasa demi merebut kuasa. Kemunafikan menjadi hal biasa dalam setiap musim politik. Politik santun, elok dan tebar pesona menjadi ‘jualan’ yang laris manis dalam memperdayai rakyat. Agama pun ikut dibawa-bawa menjadi jajanan politik murahan oleh para politikus busuk yang hanya memikirkan perut. Tampang srigala dipoles menjadi seperti domba. Nafsu liar burung pemakan bangkai ditutup-tutupi menjadi seperti merpati.

Dari kenyataan-kenyataan ini, Jokowi menjadi sosok yang sangat spesial dan fenomenal yang muncul dengan berani melawan arus dan semangat jaman yang sudah dikuasai oleh nafsu dan kegilaan terhadap harta dan tahta. Jokowi dengan hati yang tulus berani menerobos arus dan semangat jaman yang bersifat individualitis dan egosentris yakni hanya mementingkan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan sendiri, bukan membela kepentingan rakyat banyak.

Bukan tidak mungkin sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta pun, Jokowi sudah menjadi buah bibir seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangihe sampai Rote. Gaya kepemimpinan khas seperti Jokowi inilah yang menjadi idaman & impian bukan hanya oleh rakyat Solo tapi juga menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia.

Semua orang menjadi sangat berharap jika pemimpin-pemimpin di daerah mereka berlaku seperti Jokowi. Karena tidak bisa dipungkiri, sejak masa reformasi seluruh elemen bangsa larut dalam eforia yang tidak berkesudahan dan tidak terkontrol.

Reformasi yang sudah berjalan selama 16 tahun hanya mengahsilkan kebebasan yang tidak bertanggungjawab; kebebasan yang diartikan sendiri tanpa memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku, kebebasan yang menindas kebebasan orang/pihak/kelompok lain, dan kebebasan yang hanya melihat HAK semata tanpa melihat KEWAJIBAN.

Semua orang, semua elemen dan semua pihak merasa berhak mengatur negeri ini atas nama reformasi. Dengan label reformasi semua orang merasa memiliki kebebasan mutlak (bebas sebebas-bebasnya) melakukan apa yang baik menurut penilaian mereka sendiri tanpa memperhatikan kebebasan orang lain.

Bahkan di sana-sini muncul kaum opurtunis yang dengan sekuat tenaga menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat liar mereka dalam memperebutkan kekuasaan dengan dalih demi memperjuangkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

***

SAYA MEMILIH JOKOWI (1)


Oleh: Pietro T. M. Netti

Saya adalah salah satu penggemar & pendukung Jokowi (bukan pendukung partai) sampai sekarang (tapi bukan berkategori ‘fanatik’) setelah melihat ‘track record’ Jokowi semenjak masih menjabat sebagai Walikota Solo.

Jokowi menjadi ‘tranding topic’ dengan gaya ‘blusukan’ khasnya (turun langsung ke lapangan) untuk bisa mendengar curahan hati rakyatnya, untuk mengetahui dan melihat secara langung apa yang sesungguhnya menjadi permasalahan di tengah-tengah rakyatnya. Oleh sebab itu Demokrasi di mata Jokowi adalah ‘mendengar suara rakyat’.

Jokowi terkenal gigih memperjuangkan kepentingan rakyat kecil, sampai-sampai kebijakan pembangunan PASAR RAKYAT menggantikan pembangunan PASAR ELIT (mall) berujung ditentang secara keras oleh Gubernur Jawa Tengah (Bibit Waluyo) sendiri. Jadi tidak salah kalau Jokowi disebut-sebut sebagai salah satu Walikota terbaik di dunia (bukan hanya di Indonesia) yang kemudian tidak mau diakui oleh yang bukan pendukungnya.

Saya yakin semua orang menjadi sangat familiar dan seperti merasa dekat-sedekat-dekatnya dengan sosok Jokowi, sang pujaan rakyat. Dikatakan demikian karena secara pribadi, walaupun saya adalah warga kota Kupang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Jokowi dan Solo dan/atau Jokowi dan DKI Jakarta, memiliki hubungan famili pun tidak, tapi turut merasakan fenomena KEINTIMAN tersebut.

Secara tidak sengaja pun Jokowi pernah beberapa kali (sering) menjadi pokok bahasan oleh saya dan teman-teman, memuji kelebihan-kelebihan yang ada pada diri Jokowi dibanding tokoh-tokoh politik lain dan pemimpin-pemimpin lain yang ada di Indonesia. Perlu diketahui juga bahwa saya dan teman-teman yang terlibat dalam ‘diskusi Jokowi’ bukanlah kaum politisi, bukanlah kaum birokrat, dan bukanlah siapa-siapa yang mempunyai kepentingan dengan Jokowi. Kami hanyalah rakyat biasa yang sudah muak dengan hiruk-pikuk reformasi yang kebablasan ini.

Di akhir dari setiap diskusi, kita sama-sama sampai pada satu kesimpulan bahwa Jokowi adalah sosok pemimpin yang fenomenal, yang memimpin dengan hati nurani. Kepedulian, simpati dan empati terhadap rakyat kecil memang muncul dari hati bersih dan tulus dari seorang Jokowi.

Bersambung ke: SAYA MEMILIH JOKOWI (2)

4 DAYA TARIK PLUS 1 DARI CAPRES JOKOWI


Oleh: Pietro T. M. Netti

Ternyata apa yang menjadi DAYA TOLAK saya sebelumnya hanyalah sebuah APRIORI yang cenderung SINIS tanpa pijakan dan bahkan ikut-ikutan MENJURUS pada melakukan FITNAH yang sangat KEJAM. Saya telah masuk dalam suatu situasi yang penuh KEMEROSOTAN etika, KEBEJATAN moral, dan KEMUNDURAN peradaban yang baru pernah terjadi di sepanjang SEJARAH PERJALANAN bangsa Indonesia.

Sungguh TRAGIS memang!

Berikut ini adalah 4 DAYA TOLAK plus 1 yang telah berubah menjadi 4 DAYA TARIK plus 1 dari capres Jokowi:

  1. Apa yang saya yakini sebagai NDESO (tampang desa/kampung) pada Jokowi hanyalah sebuah penilaian subyektif yang sangat PICIK. “Don’t judge the book by its cover!” Rupanya saya terlanjur terpengaruh dengan POSTUR dan TAMPANG pemimpin-pemimpin kita sebelumnya yang GAGAH menurut STANDAR SINETRON. Ternyata TIDAK semua postur dan tampang pemimpin yang gagah memiliki kepemimpinan yang gagah pula. Sebenarnya TAMPANG NDESO dari seorang Jokowi adalah CERMINAN WAJAH sebagian besar RAKYAT INDONESIA.
  2. Anggapan yang saya tuduhkan ke Partai Demokrasi Indosnesia Perjuangan (khususnya Megawati Soekarnoputri) yang ber-AMBISI dan HAUS KEKUASAAN ternyata tidak beralasan, karena saya lupa bahwa sebenarnya bukan PDIP/MEGAWATI yang menginginkan Jokowi menjadi CAPRES, melainkan sebagian besar RAKYAT INDONESIA yang menginginkannya.
  3. Pikiran saya bahwa Jokowi melakukan PENGKHIANATAN terhadap rakyat Jakarta adalah OCEHAN PINGGIR JALAN yang sangat berlebihan. Justru sebagian besar RAKYAT JAKARTA sangat BANGGA dan menginginkan gubernurnya bisa mengemban tugas dengan skala yang lebih luas bagi KESEJAHTERAN dan KEMAJUAN bangsa dan negeri tercinta ini. Apalagi JAKARTA sebagai sebuah IBUKOTA NEGARA juga adalah bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tentu tidak akan LUPUT dari perhatian seorang Jokowi ketika ia terpilih menjadi PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.  
  4. Tentang TEGAS dan TIDAK TEGAS, lagi-lagi saya hanya menilai SOSOK Jokowi dari KULIT LUAR-nya saja. Ternyata penilaian saya ini BERBANDING TERBALIK dari kenyataan yang sebenarnya. Mungkin saya begitu termakan dengan sebutan/julukan  SI KEREMPENG oleh Megawati sendiri kepada Jokowi. Dalam pikiran saya, KEREMPENG berarti TIDAK KUAT, tidak kuat sama dengan LEMAH, dan lemah berarti TIDAK TEGAS. Apalagi Jokowi adalah sosok SIPIL MURNI atau non MILITER. Dan memang saya juga terlanjur beranggapan bahwa orang sipil tidak setegas orang militer dan/atau mantan milter. Padahal KETEGASAN samasekali tidak ada sangkut-pautnya dengan KEREMPENG atau KUAT/TIDAK KUAT secara fisik, tidak pula berhubungan dengan SIPIL atau MILITER, melainkan berhubungan dengan KEBERANIAN membuat KEBIJAKAN dan KEPUTUSAN yang PRO RAKYAT, dan siap menghadapi segala RESIKO dari setiap kebijakan dan keputusan yang dibuat. Dan ini telah terbukti saat Jokowi masih menjabat sebagai Walikota Solo yang tegas dan berani berseberangan dengan Gubernur Jawa Tengah saat itu (Bibit Waluyo) perihal pembangunan PASAR RAKYAT mennggantikan PASAR ELIT (mall). Begitu pula saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi BERANI dan TEGAS dalam membuat kebijakan dan keputusan yang berhubungan dengan KARTU SEHAT, KARTU PINTAR, penataan RUANG TERBUKA HIJAU, pembangunan RUMAH SUSUN untuk RAKYAT MISKIN, penataan PASAR TANAH ABANG, dan masih banyak lagi. Semua yang telah dilakukan di Jakarta adalah BUKTI KETEGASAN Jokowi yang TIDAK DIMILIKI oleh gubernur-gubernur sebelumnya.
  5. Empat fakta di atas teleah MENGETUK hati nurani saya untuk TIDAK BISA tidak mendukung Jokowi. Atau dengan kata lain, FAKTA pertama hingga ke empat di atas telah MENYITA seluruh PERHATIAN dan KEPEDULIAN saya untuk mengalihkan dukungan dari capres yang lain kepada JOKOWI.
“Aku jatuh Cinta…Cintaku Tulus…Setulus Hatimu…Yang Terpancar di Wajah Ndeso-mu…!”

Bersambung ke: SAYA MEMILIH JOKOWI (1)

4 DAYA TOLAK PLUS 1 TERHADAP CAPRES JOKOWI (2)


Oleh: Pietro T. M. Netti

Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa ALASAN-ALASAN SUBYEKTIF di atas hanyalah alasan-alasan yang sesungguhnya TIDAK RASIONAL. Ternyata semua alasan yang muncul tersebut semata-mata hanya karena sebagaimana yang saya sebutkan pada alasan ke lima di atas.

Keberpihakan terhadap capres lain telah menyebabkan KEBUNTUAN NALAR dan PENYEMPITAN AKAL SEHAT. Saya telah terjebak dalam FANATISME MEMBABI BUTA yang hanya melibatkan SENTIMEN PERASAAN yang ternyata sangat menghambat alur berpikir yang KRITIS dan LOGIS.

Sebagai manusia INDEPENDEN yang pernah mengenyam sekurang-kurangnya PENDIDIKAN DASAR, saya pun terusik dengan keberpihakan saya yang  dapat dikatakan sangat RADIKAL tersebut. Saya TIDAK lagi dapat MELIHAT kebaikan-kebaikan yang ada pada sosok Jokowi.

Apapun yg dilakukan Jokowi walaupun baik adanya selalu dinilai sebagai PENCITRAAN, TEBAR PESONA, MENGEMIS SIMPATI RAKYAT, dan sebagainya. Pokoknya apapun yang dilakukan Jokowi tidak memiliki NILAI POSITIF. Jokowi hanya identik dengan hal negatif.

Pada satu titik, saya mulai merasa ANEH dengan diri sendiri terutama berkaitan dengan penilaian saya yang SELALU NEGATIF terhadap Jokowi. Saya pun ikut-ikutan turut merasa SENANG & BAHAGIA MENIKMATI FITNAH yang terus dilancarkan kepada Jokowi.

Pada titik ini, saya merasa bahwa saya telah berdiri pada TITIK YANG SALAH, saya tengah berada dalam ARUS JAMAN YANG SALAH, dan yang lebih menyedihkan adalah saya tengah BERSENANG-SENANG DI ATAS PENDERITAAN orang lain (baca: Jokowi). Hal ini sangatlah BERTENTANGAN dengan HATI NURANI saya.

Pada titik ini pula saya sempat berkata pada diri sendiri: “ADA APA DENGANMU?” “TRAGIS!” “HOW POOR YOU ARE!” “Anda belum tentu lebih BAIK dan/atau lebih BERHARGA dari orang yang sedang anda CIDERAI!”

Hal berikutnya yang membuat saya TERTEGUN adalah: “Bagaimana mungkin orang yang anda SANGAT IDOLA-kan berkat KERJA KERAS-nya dan KEBERPIHAKAN-nya kepada RAKYAT KECIL sejak menjabat sebagai Walikota Solo tersebut tidak lagi memiliki HAL POSITIF dan KEBAIKAN sedikitpun dalam dirinya?”

Pendidikan MORAL, ETIKA dan AGAMA yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua, dan yang diperoleh melalui lembaga-lembaga pendidikan dan agama selama bertahun-tahun  seakan SIRNA begitu saja hanya karena KEBERPIHAKAN POLITIK yang sangat TIDAK RASIONAL.

“Dimanakah hal mengasihi orang lain seperti mengasihi dirimu sendiri? Dimanakah hal melakukan kepada orang apa yang anda ingin orang lain lakukan kepada anda?” Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan nurani yang mengusik.

Pertimbangan-pertimbangan nurani di atas kembali membuka MATA HATI dan PIKIRAN saya untuk kembali ke TITIK NOL, dimana HATI dan PIKIRAN saya harus BEBAS dari kungkungan FANATISME yang sempit.

Sebenarnya  ungkapan HATI dan PIKIRAN yang disebutkan di atas yang dialami oleh saya secara pribadi bukan menunjuk pada penggunaan  NURANI dan RASIO berpikir logis yang seimbang dan memadai. HATI dan PIKIRAN hanya semata-mata KOSAKATA yang dipakai untuk menutupi FANATISME BUTA yang tanpa NURANI dan AKAL SEHAT.

4 DAYA TOLAK PLUS 1 TERHADAP CAPRES JOKOWI (1)


Oleh: Pietro T. M. Netti

Tulisan ini adalah ungkapan hati dari saya secara pribadi yang tidak bermaksud mempengaruhi pembaca (baca: RAKYAT) untuk memilih capres-cawapres dalam Pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Saya percaya bahwa setiap pembaca tentunya telah memiliki atau dengan kata lain SUDAH SELESAI dengan pilihannya masing-masing. Bagi yang berbeda keberpihakan politiknya, kita BERBEDA TETAPI TETAP SATU sebagai anak bangsa negeri ini, INDONESIA.  

Tulisan ini dibuat sesaat setelah dideklarasikan pen-CAPRES-an Ir. H. Joko Widodo pada Juni lalu untuk periode 2014-2019. Maklum karena saya bukanlah seorang penulis professional, maka tulisannya baru saja rampung menjelang Pilpres 9 Juli.

Semula saya sangat keberatan atas deklarasi calon presiden oleh PDIP ini. DAYA TOLAK yang muncul dalam benak saya adalah bahwa Joko Widodo BELUM PANTAS untuk dicapreskan saat ini, mungkin lebih tepat pada kesempatan berikutnya (2019-2024). Apalagi opini dan pemberitaan di media-media masa pun turut mendukung  daya tolak yang ada dalam diri saya tersebut.

Alasan SUBYEKTIF saya yang telah menjadi DAYA TOLAK terhadap Capres Jokowi adalah:

  1. Saya beranggapan bahwa Joko Widodo tidak memiliki TAMPANG PRESIDEN (presidential look) yang menurut kebanyakan orang disebut sebagai NDESO (tampang desa/kampung);
  2. Saya beranggapan bahwa PDIP memanfaatkan situasi (sangat ber-AMBISI terhadap KEKUASAAN) dengan mencapreskan Jokowi yang berdasarkan survey memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi;
  3. Pencapresan Jokowi adalah bentuk PENGKHIANATAN terhadap rakyat Jakarta, karena Jokowi belum menuntaskan masa 5 tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta;
  4. Jokowi BUKAN-lah tipe sosok yang TEGAS jika dilihat dari penampilan luar yang KEREMPENG (pinjam Megawati Soekarnoputri) dan latar belakang sebagai NON MILITER (Sipil);
  5. Alasan pertama sampai ke empat itu muncul karena saya sedang meng-IDOLA-kan TOKOH LAIN sebagai capres. 

Senin, 07 Juli 2014

BIANGLALA HAYYOM: VIBRASI KEPELOPORAN JOKO WIDODO

BIANGLALA HAYYOM: VIBRASI KEPELOPORAN JOKO WIDODO: Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti Shakespeare berkata, “All the world’s a stage, and all the men and women merely players: They have their ...

BIANGLALA HAYYOM: VIBRASI KEPELOPORAN PRABOWO SUBIANTO

BIANGLALA HAYYOM: VIBRASI KEPELOPORAN PRABOWO SUBIANTO: Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti PRABOWO SUBIANTO lahir pada tanggal 17 Oktober 1951 di Jakarta. Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, adala...

BIANGLALA HAYYOM: VIBRASI KEPELOPORAN PRABOWO SUBIANTO & JOKO WIDODO...

BIANGLALA HAYYOM: VIBRASI KEPELOPORAN PRABOWO SUBIANTO & JOKO WIDODO...: CATATAN REKOMENDASI Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti Memperhatikan analisis vibrasi kepeloporan Prabowo Subianto, calon Pres...