Ilustrasi: ilmuwancilik |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tulisan
ini cuma catatan harian biasa
sebagaimana judul yang terpancang (terpampang, pen) nyata di atas. Sahabat-sahabat kompasianer
boleh dengan leluasa memutuskan untuk mau
membaca catatan ini atau langsung saja pindah
ke lain hati. Seluruh hak saya serahkan kepada sobat-sobatku yang baik
hatinya untuk memutuskannya sendiri, karena lagi-lagi ini cuma catatan harian biasa.
Memasuki
tahun yang baru, tahun 2015 di penghujung hari ke-7 menjelang hari ke-8, saya
masih saja belum mendapatkan ide yang tepat sekaligus menarik atau up to date untuk mulai menulis di kompasiana maupun di blog-blogku yang
lain, padahal informasi/berita aktual banyak yang berseliweran di sekitar kita.
Lebih tepatnya, saya masih belum mendapatkan mood yang bagus untuk membangkitkan gairah menulis yang mungkin butuh “di-on clinic-kan”. Maklum, masih
menunggu hari baik! (He2x…).
“Apakah
catatan harian ini bukan termasuk bentuk ide yang dituangkan dalam tulisan?”
“Kurang
paham! Pokoknya yang saya rasa adalah belum ada ide yang tepat dan mood yang baik untuk menulis!”
“?????”
Sambil
tetap berharap datangnya hari baik suatu saat nanti, saya tetap berselancar ke
berbagai penjuru media sosial walaupun hanya sebagai subyek pemerhati tanpa
beropini. Saya cukup menjadi pengunjung pasif yang berusaha menelan semua
informasi yang diperoleh. Setiap kali menyempatkan waktu berkunjung ke kompasiana, saya hanya bisa kagum dan
terpesona karena banyak sekali tulisan dari para kompasianer yang selalu dan tetap muncul dengan berbagai topik/ide
segar yang tentu saja menarik,
bermanfaat, inspiratif dan aktual.
Melihat
kenyataan ini, saya bertanya-tanya pada rumput
yang bergoyang…eh…pada diri sendiri:
“Apa yang mau anda tulis, Pietro?”
Pertanyaan ini selalu saja menggelitik nurani saya setiap kali melihat traffic tulisan di kompasiana dari teman-teman kompasianer
yang gak ada matinya.
“Salut
untuk para kompasianer yang selalu on di setiap waktu dan kesempatan!”
Padahal
mau dibilang di sekitar kita selalu menghadirkan banyak hal yang bisa dijadikan
topik/ide untuk mulai menulis. Tapi memang kalau lagi usus buntu (He3x… “buntu ide”
maksudnya), apa saja yang terjadi di depan mata, hanyalah angin lalu. Mata ini
hanya bisa melihat dengan tatapan kosong, atau hanya bisa melirik tanpa gairah
menggelora layaknya kesan pertama yang tidak menggoda. Atau bisa jadi yang kita
lakukan hanyalah memandang dengan sebelah mata pada kejadian-kejadian tersebut
tanpa menyimak, mengobservasi dan meneliti lebih jauh untuk didokumentasikan
dalam bentuk catatan-catatan.
Ini
menjadi salah satu titik lemah kita
yang hanya mau mengandalkan atau terbiasa dengan fungsi daya ingat (yakni mengingat
dan menghafal) semata terhadap suatu
kejadian/peristiwa penting yang mungkin saja akan sangat bermanfaat di
masa-masa yang akan datang. Kita cenderung hanya senang mengenang dalam pikiran
sebagai kenangan terindah tanpa
berniat mencatat dalam bentuk data tertulis. Kenangan pasti lekang dimakan usia
si pengenang, tapi data tertulis akan tetap hidup melampaui usia si pencatat
data.
Bicara
tentang mengingat dan menghafal membawaku kembali ke masa-masa
sekolah dulu terutama saat menghadapi masa-masa ujian baik semester-an maupun ujian akhir sekolah. Banyak di antara kita yang
selalu mempersiapkan diri dengan cara mengingat
dan menghafal materi-materi pelajaran
untuk menghadapi ujian tersebut. Membaca atau belajar bukan untuk
dimengerti/dipahami, tetapi belajar untuk bisa mengingat/menghafal. Bahkan ada
yang sampai mengunyah dan kemudian menelan buku-buku catatannya sendiri supaya
bisa lebih kuat ingatannya (He4x… “Just
kiddingI”).
Memang
cara tersebut cukup manjur untuk bisa membuat kita bisa mengerjakan soal-soal
ujian dengan baik, dan bisa naik kelas dan/atau lulus dengan selamat. Tapi
kalau mau jujur, setelah naik kelas atau lulus, materi-materi yang dipelajari
banyak yang hilang tak berbekas dari ingatan kita. Karena memang tujuan belajar
(mengingat dan menghafal) tersebut hanya untuk tujuan jangka pendek yakni hanya
untuk menghadapi ujian saat itu. Jadi jangan heran kalau ada siswa yang baru
saja naik ke kelas dua misalnya tidak mengingat lagi materi-materi yang
diperolehnya di kelas satu, dan sebagainya.
Kembali ke laptopnya Tukul!
Sejak
Desember 2014 lalu, saya hanya menjadi peselancar
(blogger/kompasianer) pasif. Jika dilihat, sebenarnya banyak hal berupa
beberapa kejadian dan peristiwa penting dan menarik yang seharusnya bisa
menjadi topik bahasan tapi saya lewatkan begitu saja. Yang masih segar dalam
ingatan kita adalah tentang hilang kontaknya pesawat Air Asia dengan kode
penerbangan QZ 8501 pada 26 Desember 2014 lalu yang akhirnya diketahui
mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh kru dan penumpangnya.
Masih
berhubungan dengan Air Asia, pengerahan seluruh kekuatan dan armada oleh
pemerintah baik dari Basarnas, TNI, Polri, dan seluruh komponen masyarakat
lainnya untuk mencari para korban yang patut diacungi 2 jempol pun seharusnya
bisa menjadi perhatian saya.
Hal
lain yang juga masih segar dalam ingatan kita adalah tentang penurunan harga
BBM (bukan Blackberry Messenger
seperti kata bang H) oleh pemerintah dari level Rp. 8.500,-/liter ke level Rp.
7.500,-/liter (Mohon dikoreksi jika salah!) yang masih menyisakan polemik
berkepanjangan.
“Bukankah
ini adalah sebuah bentuk kecerobohan pemerintah saat ini yang sangat
tergesa-gesa atau terburu-buru menaikkan harga BBM di tengah-tengah turunnya
harga minyak dunia?”
“Bukankah
ini juga sebagai bentuk ketidakmatangan dalam hal pengambilan kebijakan dan
keputusan oleh pemerintahan Jokowi saat ini di awal kekuasaannya?”
Itulah
dua dari sekian banyak pertanyaan yang masih tersembunyi di dibalik otak kiri
atau otak kanan saya. Mungkin ada alasan logis dibalik kebijakan/keputusan
pemerintah tersebut, tapi dampak kenaikan BBM sebelumnya sudah sudah sangat
mencekik rakyat kecil. Rakyat kecil tercekik bukan karena harga BBM yang
tinggi, tapi karena kebijakan menaikkan harga BBM tersebut juga membuat seluruh
harga bahan kebutuhan pokok ikut melambung
ke angkasa. Sangat jelas daya beli rakyat yang lagi tiarap tidak mampu menggapai
langit.
“Apa
mungkin pemerintah bisa menjamin bahwa dengan menurunkan harga BBM sekian
persen tersebut, otomatis akan membuat harga-harga barang bisa ikut merangkak
turun sekian persen pula?”
“Rasa-rasanya
mustahil bisa terjadi!”
Dari
perspektif rakyat kecil, saya berpendapat bahwa harga BBM yang sudah dinaikkan
seharusnya tidak perlu diturunkan lagi. Rakyat kecil sudah teruji kuat dan
mampu beradaptasi untuk menjaga hak hidupnya di tengah keterpurukan daya beli
yang kian merayap. Sekarang harga BBM
sudah turun, tapi kalau boleh pemerintah harus bisa menjamin 100% bahwa harga
BBM yang sudah turun tersebut tidak dinaikkan kembali suatu saat nanti dalam
kurun waktu 5 tahun ke depan. Ini dilakukan agar harga-harga bahan pokok tadi
tidak naik dua kali, sehingga membuat rakyat kecil menderita dua kali juga atau
menderita berulang-ulang.
Sebagai
Jokowiers (He2x…ketahuan belangnya) saya hanya bisa menelan ludah (ludah sendiri)
dan berusaha menutup telinga rapat-rapat dari cercaan dan umpatan dari mereka
yang sejak awal antipati terhadap
Jokowi. Dan masih banyak hal menarik lainnya yang sengaja dilewatkan dari
perhatian saya.
Namun
demikian, walaupun ada banyak yang luput, ada banyak hal lain yang ternyata
telah menjadi konsentrasi saya dan harus saya jalani. Mungkin saja hal yang
luput dari perhatian saya telah menjadi perhatian dari sobat-sobat kompasianer yang lain, tapi mungkin juga
hal-hal lain yang telah dan harus saya jalani di bulan Desember lalu tidak
dijalani oleh sobat-sobat kompasianer.
Jika demikian maka skor kita sama alias
seri: 0:0, atau 1:1, atau 5:5, dan seterusnya. (He2x…Akhirnya sama juga!).
Jika
ditanya, “Manakah yang lebih penting antara
hal-hal yang saya lewatkan dan hal-hal yang telah dan harus saya jalani?”
Pertanyaannya
gampang-gampang sulit sekaligus sulit-sulit gampang. Tapi kalau saya
dipaksa (He2x… ”Siapa yang paksa?”)
untuk harus menjawab pertanyaan tersebut, maka jawaban saya adalah “Hal yang telah dan harus saya jalani yang
lebih penting!” Alasannya: “Kalau
tidak penting maka tentu saya sudah memilih untuk tidak melewatkan
kejadian-kejadian dan/atau peristiwa-peristiwa penting/menarik tersebut!”
(He2x… “Alasannya konyol!”).
Sebenarnya
kedua hal yang saya sebutkan di atas sama pentingnya, tergantung pada pilihan
dari tiap-tiap orang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing orang
tersebut. Bisa saja, ada orang lain yang lebih memilih hal pertama sebagai hal
yang lebih penting, dan itu sah-sah saja. Jika tidak maka ia pasti lebih
memilih hal yang kedua dan mengabaikan hal pertama sebagaimana yang saya
lakukan belum lama ini. Dan lagi, yang disebut sebagai alasan konyol di atas juga akan menjadi alasan kuat bagi setiap
orang di saat harus memilih. (He2x...Alasan
konyol menjadi alasan kuat?).
Terus
terang, sampai pada bagian ini pun, saya belum juga mendapatkan mood yang saya harapkan sebagai pemicu
gairah, sedangkan catatan harian yang saya buat ini pun semakin membingungkan.
Ada sebagian orang (atau lebih tepatnya, kebanyakan orang) mengatakan: “Jika anda ingin menulis, tulislah apa saja
yang ada dalam pikiran anda!”
Mungkin
saja benar anjuran ini, tapi untuk saat ini bahkan di banyak kesempatan yang
lain anjuran ini selalu tidak benar untuk saya. Apa yang saya tulis selalu
berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran saya. Contohnya seperti yang sedang
saya alami sekarang ini; catatan harian ini muncul tak terduga dari sebuah
kehampaan. “Aneh tapi nyata!” Tidak
ada apa-apa dalam pikiran saya saat ini, maksudnya yang ada dalam pikiran saya
saat ini tidak sama persis dengan catatan yang sedang saya tulis ini. Yang
tertuang dalam tulisan tidak mencerminkan apa yang sedang pikirkan. Dan saya
harus lapang dada menerima apapun hasilnya, walaupun bisa sangat membingungkan
atau bisa jadi akan sangat memalukan. (He3x…).
“Mungkin
ini yang dinamakan sebagai membuat yang tiada
menjadi ada?”
“Ah…masa’?”
“Iya…,
buktinya tulisan ini hampir kelar, muncul dari sebuah kekosongan pikiran!
Yaah…walaupun tulisan ini akan sangat membingungkan atau akan sangat
memalukan!” (He3x…).
“Berarti
apa yang sedang saya buat saat ini masuk dalam kategori sebagai sebuah karya penciptaan?” (Ehem…baca: karya dan kreasi).
“Ya,
iya laah…! Masa’ iya dong…? Karya penciptaan yang akan mencoreng nama baik!”
(Ha3x… Monolog ini tidak untuk ditanggapi
dengan serius! Cuma asal!).
Sudah
tentu sobat-sobat kompasianer yang
sejak awal telah memutuskan pindah ke
lain hati sedikit pun tidak mengetahui kekonyolan yang sedang saya buat
ini. Tapi bagi sobat-sobat kompasianer
yang terlanjur menggunakan haknya untuk terus membaca sampai pada detik ini
tentu telah mencatat berbagai kekonyolan yang saya buat melalui catatan harian
ini. Jika di bagian awal sahabat-sahabat kompasianer
telah diberi hak untuk boleh dengan leluasa memutuskan…, maka kini hak itu saya
cabut demi melindungi nama baik sesama. (He2x..).
Di
bagian akhir ini kiranya sahabat-sahabat kompasianer
wajib tutup mulut akan apa yang telah
saya lakukan yang bisa berpotensi menjadi aib
pribadi ini. (He3x…). Menutup catatan harian yang aneh ini, sudi kiranya
sobat-sobat kompasianer juga mau
membaca pantun yang juga aneh ini (sebuah modifikasi yang tidak
bertanggungjawab. “Jangan ditiru!”):
Kalau ada jarum yang patah, jangan disimpan di dalam hati…
Kalau ada kata yang salah, jangan disimpan di dalam peti.
Kalau ada jarum yang salah jangan disimpan di dalam peti…
Kalau ada kata yang patah jangan disimpan di dalam hati.
Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita bertemu kembali.
Kalau ada umur yang panjang, bolelah kita menumpang mandi…
Kalau ada sumur yang panjang, bolehlah kita menumpang mandi…
Kalau ada umur di ladang, bolehlah kita bertemu kembali.
“Ha3x…!
Salam!”
[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2015/01/07/cuma-catatan-harian-biasa-695455.html]
0 comments:
Posting Komentar