Kamis, 08 Januari 2015

Cuma Catatan Harian Biasa

Ilustrasi: ilmuwancilik

Oleh: Pietro T. M. Netti

Tulisan ini cuma catatan harian biasa sebagaimana judul yang terpancang (terpampang, pen) nyata di atas. Sahabat-sahabat kompasianer boleh dengan leluasa memutuskan untuk mau membaca catatan ini atau langsung saja pindah ke lain hati. Seluruh hak saya serahkan kepada sobat-sobatku yang baik hatinya untuk memutuskannya sendiri, karena lagi-lagi ini cuma catatan harian biasa.

Memasuki tahun yang baru, tahun 2015 di penghujung hari ke-7 menjelang hari ke-8, saya masih saja belum mendapatkan ide yang tepat sekaligus menarik atau up to date untuk mulai menulis di kompasiana maupun di blog-blogku yang lain, padahal informasi/berita aktual banyak yang berseliweran di sekitar kita. Lebih tepatnya, saya masih belum mendapatkan mood yang bagus untuk membangkitkan gairah menulis yang mungkin butuh “di-on clinic-kan”. Maklum, masih menunggu hari baik! (He2x…).

“Apakah catatan harian ini bukan termasuk bentuk ide yang dituangkan dalam tulisan?”

“Kurang paham! Pokoknya yang saya rasa adalah belum ada ide yang tepat dan mood yang baik untuk menulis!”

“?????”

Sambil tetap berharap datangnya hari baik suatu saat nanti, saya tetap berselancar ke berbagai penjuru media sosial walaupun hanya sebagai subyek pemerhati tanpa beropini. Saya cukup menjadi pengunjung pasif yang berusaha menelan semua informasi yang diperoleh. Setiap kali menyempatkan waktu berkunjung ke kompasiana, saya hanya bisa kagum dan terpesona karena banyak sekali tulisan dari para kompasianer yang selalu dan tetap muncul dengan berbagai topik/ide segar yang tentu saja menarik, bermanfaat, inspiratif dan aktual.

Melihat kenyataan ini, saya bertanya-tanya pada rumput yang bergoyang…eh…pada diri sendiri: “Apa yang mau anda tulis, Pietro?” Pertanyaan ini selalu saja menggelitik nurani saya setiap kali melihat traffic tulisan di kompasiana dari teman-teman kompasianer yang gak ada matinya.

“Salut untuk para kompasianer yang selalu on di setiap waktu dan kesempatan!”

Padahal mau dibilang di sekitar kita selalu menghadirkan banyak hal yang bisa dijadikan topik/ide untuk mulai menulis. Tapi memang kalau lagi usus buntu (He3x… “buntu ide” maksudnya), apa saja yang terjadi di depan mata, hanyalah angin lalu. Mata ini hanya bisa melihat dengan tatapan kosong, atau hanya bisa melirik tanpa gairah menggelora layaknya kesan pertama yang tidak menggoda. Atau bisa jadi yang kita lakukan hanyalah memandang dengan sebelah mata pada kejadian-kejadian tersebut tanpa menyimak, mengobservasi dan meneliti lebih jauh untuk didokumentasikan dalam bentuk catatan-catatan.

Ini menjadi salah satu titik lemah kita yang hanya mau mengandalkan atau terbiasa dengan fungsi daya ingat (yakni mengingat dan menghafal) semata terhadap suatu kejadian/peristiwa penting yang mungkin saja akan sangat bermanfaat di masa-masa yang akan datang. Kita cenderung hanya senang mengenang dalam pikiran sebagai kenangan terindah tanpa berniat mencatat dalam bentuk data tertulis. Kenangan pasti lekang dimakan usia si pengenang, tapi data tertulis akan tetap hidup melampaui usia si pencatat data.

Bicara tentang mengingat dan menghafal membawaku kembali ke masa-masa sekolah dulu terutama saat menghadapi masa-masa ujian baik semester-an maupun ujian akhir sekolah. Banyak di antara kita yang selalu mempersiapkan diri dengan cara mengingat dan menghafal materi-materi pelajaran untuk menghadapi ujian tersebut. Membaca atau belajar bukan untuk dimengerti/dipahami, tetapi belajar untuk bisa mengingat/menghafal. Bahkan ada yang sampai mengunyah dan kemudian menelan buku-buku catatannya sendiri supaya bisa lebih kuat ingatannya (He4x… “Just kiddingI”).

Memang cara tersebut cukup manjur untuk bisa membuat kita bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan baik, dan bisa naik kelas dan/atau lulus dengan selamat. Tapi kalau mau jujur, setelah naik kelas atau lulus, materi-materi yang dipelajari banyak yang hilang tak berbekas dari ingatan kita. Karena memang tujuan belajar (mengingat dan menghafal) tersebut hanya untuk tujuan jangka pendek yakni hanya untuk menghadapi ujian saat itu. Jadi jangan heran kalau ada siswa yang baru saja naik ke kelas dua misalnya tidak mengingat lagi materi-materi yang diperolehnya di kelas satu, dan sebagainya.

Kembali ke laptopnya Tukul!

Sejak Desember 2014 lalu, saya hanya menjadi peselancar (blogger/kompasianer) pasif. Jika dilihat, sebenarnya banyak hal berupa beberapa kejadian dan peristiwa penting dan menarik yang seharusnya bisa menjadi topik bahasan tapi saya lewatkan begitu saja. Yang masih segar dalam ingatan kita adalah tentang hilang kontaknya pesawat Air Asia dengan kode penerbangan QZ 8501 pada 26 Desember 2014 lalu yang akhirnya diketahui mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh kru dan penumpangnya.

Masih berhubungan dengan Air Asia, pengerahan seluruh kekuatan dan armada oleh pemerintah baik dari Basarnas, TNI, Polri, dan seluruh komponen masyarakat lainnya untuk mencari para korban yang patut diacungi 2 jempol pun seharusnya bisa menjadi perhatian saya.

Hal lain yang juga masih segar dalam ingatan kita adalah tentang penurunan harga BBM (bukan Blackberry Messenger seperti kata bang H) oleh pemerintah dari level Rp. 8.500,-/liter ke level Rp. 7.500,-/liter (Mohon dikoreksi jika salah!) yang masih menyisakan polemik berkepanjangan.

“Bukankah ini adalah sebuah bentuk kecerobohan pemerintah saat ini yang sangat tergesa-gesa atau terburu-buru menaikkan harga BBM di tengah-tengah turunnya harga minyak dunia?”

“Bukankah ini juga sebagai bentuk ketidakmatangan dalam hal pengambilan kebijakan dan keputusan oleh pemerintahan Jokowi saat ini di awal kekuasaannya?”

Itulah dua dari sekian banyak pertanyaan yang masih tersembunyi di dibalik otak kiri atau otak kanan saya. Mungkin ada alasan logis dibalik kebijakan/keputusan pemerintah tersebut, tapi dampak kenaikan BBM sebelumnya sudah sudah sangat mencekik rakyat kecil. Rakyat kecil tercekik bukan karena harga BBM yang tinggi, tapi karena kebijakan menaikkan harga BBM tersebut juga membuat seluruh harga bahan kebutuhan pokok ikut melambung ke angkasa. Sangat jelas daya beli rakyat yang lagi tiarap tidak mampu menggapai langit.

“Apa mungkin pemerintah bisa menjamin bahwa dengan menurunkan harga BBM sekian persen tersebut, otomatis akan membuat harga-harga barang bisa ikut merangkak turun sekian persen pula?”

“Rasa-rasanya mustahil bisa terjadi!”

Dari perspektif rakyat kecil, saya berpendapat bahwa harga BBM yang sudah dinaikkan seharusnya tidak perlu diturunkan lagi. Rakyat kecil sudah teruji kuat dan mampu beradaptasi untuk menjaga hak hidupnya di tengah keterpurukan daya beli yang kian merayap. Sekarang harga BBM sudah turun, tapi kalau boleh pemerintah harus bisa menjamin 100% bahwa harga BBM yang sudah turun tersebut tidak dinaikkan kembali suatu saat nanti dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Ini dilakukan agar harga-harga bahan pokok tadi tidak naik dua kali, sehingga membuat rakyat kecil menderita dua kali juga atau menderita berulang-ulang.

Sebagai Jokowiers (He2x…ketahuan belangnya) saya hanya bisa menelan ludah (ludah sendiri) dan berusaha menutup telinga rapat-rapat dari cercaan dan umpatan dari mereka yang sejak awal antipati terhadap Jokowi. Dan masih banyak hal menarik lainnya yang sengaja dilewatkan dari perhatian saya.

Namun demikian, walaupun ada banyak yang luput, ada banyak hal lain yang ternyata telah menjadi konsentrasi saya dan harus saya jalani. Mungkin saja hal yang luput dari perhatian saya telah menjadi perhatian dari sobat-sobat kompasianer yang lain, tapi mungkin juga hal-hal lain yang telah dan harus saya jalani di bulan Desember lalu tidak dijalani oleh sobat-sobat kompasianer. Jika demikian maka skor kita sama alias seri: 0:0, atau 1:1, atau 5:5, dan seterusnya. (He2x…Akhirnya sama juga!).

Jika ditanya, “Manakah yang lebih penting antara hal-hal yang saya lewatkan dan hal-hal yang telah dan harus saya jalani?”

Pertanyaannya gampang-gampang sulit sekaligus sulit-sulit gampang. Tapi kalau saya dipaksa (He2x… ”Siapa yang paksa?”) untuk harus menjawab pertanyaan tersebut, maka jawaban saya adalah “Hal yang telah dan harus saya jalani yang lebih penting!” Alasannya: “Kalau tidak penting maka tentu saya sudah memilih untuk tidak melewatkan kejadian-kejadian dan/atau peristiwa-peristiwa penting/menarik tersebut!” (He2x… “Alasannya konyol!”).

Sebenarnya kedua hal yang saya sebutkan di atas sama pentingnya, tergantung pada pilihan dari tiap-tiap orang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing orang tersebut. Bisa saja, ada orang lain yang lebih memilih hal pertama sebagai hal yang lebih penting, dan itu sah-sah saja. Jika tidak maka ia pasti lebih memilih hal yang kedua dan mengabaikan hal pertama sebagaimana yang saya lakukan belum lama ini. Dan lagi, yang disebut sebagai alasan konyol di atas juga akan menjadi alasan kuat bagi setiap orang di saat harus memilih. (He2x...Alasan konyol menjadi alasan kuat?).

Terus terang, sampai pada bagian ini pun, saya belum juga mendapatkan mood yang saya harapkan sebagai pemicu gairah, sedangkan catatan harian yang saya buat ini pun semakin membingungkan. Ada sebagian orang (atau lebih tepatnya, kebanyakan orang) mengatakan: “Jika anda ingin menulis, tulislah apa saja yang ada dalam pikiran anda!”

Mungkin saja benar anjuran ini, tapi untuk saat ini bahkan di banyak kesempatan yang lain anjuran ini selalu tidak benar untuk saya. Apa yang saya tulis selalu berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran saya. Contohnya seperti yang sedang saya alami sekarang ini; catatan harian ini muncul tak terduga dari sebuah kehampaan. “Aneh tapi nyata!” Tidak ada apa-apa dalam pikiran saya saat ini, maksudnya yang ada dalam pikiran saya saat ini tidak sama persis dengan catatan yang sedang saya tulis ini. Yang tertuang dalam tulisan tidak mencerminkan apa yang sedang pikirkan. Dan saya harus lapang dada menerima apapun hasilnya, walaupun bisa sangat membingungkan atau bisa jadi akan sangat memalukan. (He3x…).

“Mungkin ini yang dinamakan sebagai membuat yang tiada menjadi ada?”

“Ah…masa’?”

“Iya…, buktinya tulisan ini hampir kelar, muncul dari sebuah kekosongan pikiran! Yaah…walaupun tulisan ini akan sangat membingungkan atau akan sangat memalukan!” (He3x…).

“Berarti apa yang sedang saya buat saat ini masuk dalam kategori sebagai sebuah karya penciptaan?” (Ehem…baca: karya dan kreasi).

“Ya, iya laah…! Masa’ iya dong…? Karya penciptaan yang akan mencoreng nama baik!” (Ha3x… Monolog ini tidak untuk ditanggapi dengan serius! Cuma asal!).

Sudah tentu sobat-sobat kompasianer yang sejak awal telah memutuskan pindah ke lain hati sedikit pun tidak mengetahui kekonyolan yang sedang saya buat ini. Tapi bagi sobat-sobat kompasianer yang terlanjur menggunakan haknya untuk terus membaca sampai pada detik ini tentu telah mencatat berbagai kekonyolan yang saya buat melalui catatan harian ini. Jika di bagian awal sahabat-sahabat kompasianer telah diberi hak untuk boleh dengan leluasa memutuskan…, maka kini hak itu saya cabut demi melindungi nama baik sesama. (He2x..).

Di bagian akhir ini kiranya sahabat-sahabat kompasianer wajib tutup mulut akan apa yang telah saya lakukan yang bisa berpotensi menjadi aib pribadi ini. (He3x…). Menutup catatan harian yang aneh ini, sudi kiranya sobat-sobat kompasianer juga mau membaca pantun yang juga aneh ini (sebuah modifikasi yang tidak bertanggungjawab. “Jangan ditiru!”):

Kalau ada jarum yang patah, jangan disimpan di dalam hati…
Kalau ada kata yang salah, jangan disimpan di dalam peti.
Kalau ada jarum yang salah jangan disimpan di dalam peti…
Kalau ada kata yang patah jangan disimpan di dalam hati.


Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita bertemu kembali.
Kalau ada umur yang panjang, bolelah kita menumpang mandi…
Kalau ada sumur yang panjang, bolehlah kita menumpang mandi…
Kalau ada umur di ladang, bolehlah kita bertemu kembali.

“Ha3x…! Salam!”

[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2015/01/07/cuma-catatan-harian-biasa-695455.html]

0 comments:

Posting Komentar