Oleh: Pietro T. M.
Netti
Jika dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin lain yang ada di
negeri ini baik dari daerah sampai ke pusat, orientasi mereka hanya pada harta
dan tahta. Pemimpin-pemimpin yang lain hanya menganut paham “tinggi gunung
seribu janji” dan “lain di bibir lain di hati”.
Segala kebaikan diri direkayasa demi merebut kuasa.
Kemunafikan menjadi hal biasa dalam setiap musim politik. Politik santun, elok
dan tebar pesona menjadi ‘jualan’ yang laris manis dalam memperdayai rakyat. Agama
pun ikut dibawa-bawa menjadi jajanan politik murahan oleh para politikus busuk
yang hanya memikirkan perut. Tampang srigala dipoles menjadi seperti domba. Nafsu
liar burung pemakan bangkai ditutup-tutupi menjadi seperti merpati.
Dari kenyataan-kenyataan ini, Jokowi menjadi sosok yang
sangat spesial dan fenomenal yang muncul dengan berani melawan arus dan
semangat jaman yang sudah dikuasai oleh nafsu dan kegilaan terhadap harta dan
tahta. Jokowi dengan hati yang tulus berani menerobos arus dan semangat jaman
yang bersifat individualitis dan egosentris yakni hanya mementingkan kepentingan-kepentingan
pribadi dan golongan sendiri, bukan membela kepentingan rakyat banyak.
Bukan tidak mungkin sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta
pun, Jokowi sudah menjadi buah bibir seluruh rakyat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke dan dari Sangihe sampai Rote. Gaya kepemimpinan khas seperti
Jokowi inilah yang menjadi idaman & impian bukan hanya oleh rakyat Solo
tapi juga menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia.
Semua orang menjadi sangat berharap jika pemimpin-pemimpin
di daerah mereka berlaku seperti Jokowi. Karena tidak bisa dipungkiri, sejak
masa reformasi seluruh elemen bangsa larut dalam eforia yang tidak berkesudahan
dan tidak terkontrol.
Reformasi yang sudah berjalan selama 16 tahun hanya mengahsilkan
kebebasan yang tidak bertanggungjawab; kebebasan yang diartikan sendiri tanpa
memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku, kebebasan yang menindas
kebebasan orang/pihak/kelompok lain, dan kebebasan yang hanya melihat HAK
semata tanpa melihat KEWAJIBAN.
Semua orang, semua elemen dan semua pihak merasa berhak
mengatur negeri ini atas nama reformasi. Dengan label reformasi semua orang
merasa memiliki kebebasan mutlak (bebas sebebas-bebasnya) melakukan apa yang
baik menurut penilaian mereka sendiri tanpa memperhatikan kebebasan orang lain.
Bahkan di sana-sini muncul kaum opurtunis yang dengan
sekuat tenaga menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat liar mereka dalam
memperebutkan kekuasaan dengan dalih demi memperjuangkan keadilan, kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
***
0 comments:
Posting Komentar