Senin, 21 Juli 2014

KASAK-KUSUK PERILAKU POLITIK (1)


Oleh: Pietro T. M. Netti

Pemilu kali ini, khususnya Pilpres (9 Juli 2014), tercatat menghadirkan angka partisipatif pemilih tertinggi dari rakyat Indonesia di dalam sejarah pelaksanaan pemilu di masa reformasi. Angka partisipatif rakyat menjadi sangat tinggi karena lahirnya kesadaran rakyat untuk menyalurkan hak suaranya untuk memilih calon presiden/calon wakil presiden yang menjadi pilihannya.

Angka partisipatif yang tinggi ini juga dipicu oleh munculnya dua figur capres-cawapres yang diyakini bisa membawa perubahan signifikan bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara. Rakyat merasa seperti memiliki harapan baru dengan hadirnya dua figur calon tersebut dengan visi-misi yang menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi negeri ini.

Keberpihakan terhadap calon-calon pun berdatangan. Partai-partai politik membentuk koalisi dukungan (bersyarat dan tanpa syarat). Elit-elit politik merapat dan membentuk tim pemenangan calon (tim sukses). Relawan-relawan pun bermunculan, rela bekerja siang dan malam untuk menyukseskan figur yang diusung. Tidak luput media-media massa nasional (cetak/elektronik) pun terjebak dalam ketidaknetralan dalam peliputan dan pemberitaannya. Maka terbentuklah kubu-kubuan keberpihakan mulai dari tingkat atas/elit sampai tingkat bawah/rakyat kecil.

Kubu-kubuan ini menimbulkan gesekan-gesekan yang sekiranya tidak perlu terjadi. Negative dan/atau Black Campaign diciptakan oleh satu kubu untuk mendiskreditkan kubu yang lain tanpa memperhatikan keadaban dalam masyarakat. Keberpihakan yang ada telah terjerumus dalam fanatisme sempit yang tidak lagi melibatkan penggunaan nalar dan akal sehat. Keberpihakan membabibuta yang ditunjukkan sungguh mempertontonkan sebuah kemerosotan moral dan etika yang sedang dialami oleh anak bangsa di negeri ini, yakni sebuah negeri yang mengaku berketuhanan dan berperikemanusiaan.

Saling serang secara terbuka marak terjadi dimana-mana baik oleh elit pendukung, elit partai, maupun media masa pendukung dan kemudian diikuti/ditiru oleh pendukung di akar rumput. Caci-maki dan bahkan fitnah berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) menjadi menu harian di media-media sosial tanpa rasa takut berdosa dari si pembuat/penyebar fitnah.

“Sungguh memprihatinkan!”

Kubu/kelompok lain seolah-olah telah menjadi musuh yang harus dibunuh/ditumpas. Segala cara ditempuh hanya semata-mata untuk menciderai kubu/kelompok lawan. Kebenaran dan kebaikan hanya milik kubu/kelompok sendiri.     

Elit yang melek politik, yang seharusnya menjadi dan/atau memberikan teladan yang baik justru menciderai pertumbuhan demokrasi yang telah susah payah dibangun. Elit telah menjadi preseden buruk bagi pendukung di akar rumput.

0 comments:

Posting Komentar