Oleh: Pietro T. M.
Netti
Pemilu kali ini,
khususnya Pilpres (9 Juli 2014), tercatat
menghadirkan angka partisipatif pemilih
tertinggi dari rakyat Indonesia di dalam sejarah pelaksanaan pemilu di masa reformasi. Angka partisipatif rakyat
menjadi sangat tinggi karena lahirnya kesadaran rakyat untuk menyalurkan hak
suaranya untuk memilih calon presiden/calon wakil presiden yang menjadi
pilihannya.
Angka partisipatif yang tinggi ini juga dipicu oleh munculnya
dua figur capres-cawapres yang diyakini bisa membawa perubahan signifikan bagi
kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara. Rakyat merasa seperti memiliki harapan
baru dengan hadirnya dua figur calon
tersebut dengan visi-misi yang
menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi negeri ini.
Keberpihakan
terhadap calon-calon pun berdatangan. Partai-partai politik membentuk koalisi dukungan (bersyarat dan tanpa syarat).
Elit-elit politik merapat dan membentuk
tim pemenangan calon (tim sukses). Relawan-relawan pun
bermunculan, rela bekerja siang dan malam untuk menyukseskan figur yang diusung.
Tidak luput media-media massa nasional (cetak/elektronik) pun terjebak dalam
ketidaknetralan dalam peliputan dan pemberitaannya. Maka terbentuklah kubu-kubuan keberpihakan mulai dari
tingkat atas/elit sampai tingkat bawah/rakyat kecil.
Kubu-kubuan ini menimbulkan gesekan-gesekan yang sekiranya tidak perlu terjadi. Negative dan/atau Black Campaign diciptakan oleh satu kubu untuk mendiskreditkan
kubu yang lain tanpa memperhatikan keadaban
dalam masyarakat. Keberpihakan yang ada telah terjerumus dalam fanatisme sempit yang tidak lagi
melibatkan penggunaan nalar dan akal sehat. Keberpihakan membabibuta
yang ditunjukkan sungguh mempertontonkan sebuah kemerosotan moral dan etika yang
sedang dialami oleh anak bangsa di
negeri ini, yakni sebuah negeri yang mengaku berketuhanan dan berperikemanusiaan.
Saling serang secara
terbuka marak terjadi dimana-mana baik oleh elit
pendukung, elit partai, maupun media masa pendukung dan kemudian diikuti/ditiru
oleh pendukung di akar rumput. Caci-maki dan bahkan fitnah berbau SARA (suku,
agama, ras dan antar golongan) menjadi menu
harian di media-media sosial tanpa rasa takut berdosa dari si pembuat/penyebar fitnah.
“Sungguh
memprihatinkan!”
Kubu/kelompok lain seolah-olah telah menjadi musuh yang harus dibunuh/ditumpas. Segala cara ditempuh hanya semata-mata untuk menciderai kubu/kelompok lawan. Kebenaran dan kebaikan hanya milik kubu/kelompok sendiri.
Elit yang melek politik, yang seharusnya menjadi
dan/atau memberikan teladan yang baik
justru menciderai pertumbuhan demokrasi yang telah susah payah
dibangun. Elit telah menjadi preseden buruk bagi pendukung di akar rumput.
Bersambung ke: KASAK-KUSUKPERILAKU POLITIK (2)
0 comments:
Posting Komentar