Oleh: Pietro T. M.
Netti
Ada fenomena menarik yang dapat
dilihat pada pelaksanaan Pesta Rakyat
(Pesta Demokrasi): Pemilihan Umum Legislatif/Pileg (9 April 2014) dan Pemilihan
Umum Presiden/Pilpres (9 Juli 2014) yang baru saja kita lewati. Fonemena yang menonjol
terjadi adalah keberpihakan politik
dari rakyat sebagai konstituen pemilih yang sangat kuat terhadap
calon-calon yang dijagokannya.
Dalam kenyataan di lapangan,
terlihat dengan sangat jelas keberpihakan yang sangat kontras pada dua event politik ini. Pileg melahirkan kasuk-kusuk keberpihakan yang sangat
kuat di kalangan rakyat kecil
(kalangan menengah ke bawah), dan sebaliknya Pilpres melahirkan kasuk-kusuk keberpihakan yang sangat
kuat di kalangan elit (kalangan
menengah ke atas).
Kasak-kusuk keberpihakan yang saya maksudkan adalah kecenderungan memihak calon-calon baik legislatif maupun presiden-wakil presiden
yang dapat memungkinkan terjadi gesekan-gesekan
horizontal berupa perpecahan, pertikaian dan konflik antar individu dan
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).
Kasak-kusuk
keberpihakan ini terjadi oleh karena kecenderungan
memihak yang tidak dilandaskan pada penggunaan nalar dan akal sehat,
tapi semata-mata hanya melibatkan perasaan
yang ujung-ujungnya terjebak pada fanatisme
sempit yang membabibuta.
Keberpihakan seperti ini adalah keberpihakan subyektif yang cenderung tidak obyektif. Isu hubungan kekeluargaan,
kesamaan suku, agama, ras dan antar golongan menjadi landasan keberpihakan
kebanyakan orang (baca: elit & rakyat
kecil) tanpa melihat track record
(rekam jejak) yang pernah ditorehkan oleh calon yang didukung dan tidak lagi
mempertimbangkan latar belakang kompetensi, kapabilitas dan integritasnya (bibit-bebet-bobot-bubut-babat). Fenomena ini memang patut disayangkan, tapi
itulah kenyataannya.
Keadaan ini tidak hanya terjadi pada konstituen pemilih di kalangan menengah ke bawah (rakyat kecil
dan yang kurang/tidak terdidik) tapi juga dialami oleh konstituen pemilih pada kalangan menengah ke atas (elit dan yang
terdidik) sekalipun. Hal ini mencerminkan kematangan
berpolitik dan kedewasaan
berdemokrasi dari anak bangsa di
negeri tercinta ini yang masih jauh
dari harapan yang sesungguhnya.
Kematangan berpolitik dan kedewasaan berdemokrasi yang
masih minim inilah yang sangat
berpotensi menciptakan ketidakharmonisan
di antara sesama anak bangsa, menjadi ancaman terhadap disintegrasi, dan
memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Rakyat menjadi terkotak-kotak menjelang
dan bahkan sesudah pesta demokrasi berakhir hanya karena meliliki perbedaan dalam keberpihakan politik.
Pembenaran-pembenaran
hanya terjadi di dalam kelompok sendiri yang memiliki kesamaan pola pikir dan cara
pandang. Kelompok lain selalu dianggap salah.
Kelompok yang satu cenderung menjatuhkan kelompok
yang lain. Tidak jarang negative campaign
(kampanye negatif) dan bahkan black
campaign diciptakan sebagai senjata penyebar
fitnah terhadap lawan politik.
Segala cara dihalalkan
atas nama menjaga dan melindungi kepentingan kelompoknya. Tidak ada lagi
pertimbangan-pertimbangan moral dan etika dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Tidak ada lagi rasa kemanusian yang
muncul dalam pola pikir dan tindakan dengan dalih: “Ini politik, bung!”, seolah-olah
politik dan demokrasi adalah bidang ilmu tersendiri yang tidak memiliki
keterkaitan sama sekali dengan moral, etika, dan bidang-bidang ilmu lainnya.
Politik dan demokrasi dipakai menjadi alat dan/atau dipakai sebagai alasan menyerang/menciderai, dan bahkan memfitnah
lawan politik.
Sungguh sebuah perilaku
politik yang sulit diterima nalar
dan akal sehat, baik ditinjau dari segi apapun. Pesta rakyat (khususnya Pilpres) yang seharusnya menjadi hajatan demokrasi yang memberi kegembiraan politik berubah menjadi ajang perseteruan nasional: caci-maki nasional, dan fitnah nasional.
Sungguh disayangkan ajang
perseteruan nasional ini diciptakan oleh konstituen pemilih kelas menengah ke atas yang adalah kalangan terdidik/berpendidikan dan/atau
kalangan elit. Tercatat ajang perseteruan nasional ini
baru pernah terjadi pada Pilpres kali ini (pada masa kampanye) dan terburuk
dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Itu semua adalah hasil karya dari kaum
terdidik/berpendidikan (kalangan elit).
Itulah wajah elit
bangsa kita yang terdidik/berpendidikan, hanya karena keberpihakan politik yang
abnormal, telah rela kehilangan nalar dan akal sehat. Fanatisme sempit
yang membabibuta telah melumpuhkan pola
pikir logis dan rasional yang berimbas pada pola tindakan yang menyimpang dari peradaban
(biadab). Kelakuan elit yang tanpa
nalar dan tanpa akal sehat ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi rakyat kecil (kalangan menengah ke bawah/tidak terdidik/kurang
berpendidikan).
Bersambung ke: KASAK-KUSUK PERILAKU POLITIK (1)
0 comments:
Posting Komentar