Sabtu, 19 Juli 2014

KASAK-KUSUK PESTA RAKYAT


Oleh: Pietro T. M. Netti

                Ada fenomena menarik yang dapat dilihat pada pelaksanaan Pesta Rakyat (Pesta Demokrasi): Pemilihan Umum Legislatif/Pileg (9 April 2014) dan Pemilihan Umum Presiden/Pilpres (9 Juli 2014) yang baru saja kita lewati. Fonemena yang menonjol terjadi adalah keberpihakan politik dari rakyat sebagai konstituen pemilih yang sangat kuat terhadap calon-calon yang dijagokannya.

                Dalam kenyataan di lapangan, terlihat dengan sangat jelas keberpihakan yang sangat kontras pada dua event politik ini. Pileg melahirkan kasuk-kusuk keberpihakan yang sangat kuat di kalangan rakyat kecil (kalangan menengah ke bawah), dan sebaliknya Pilpres melahirkan kasuk-kusuk keberpihakan yang sangat kuat di kalangan elit (kalangan menengah ke atas).

                Kasak-kusuk keberpihakan yang saya maksudkan adalah kecenderungan memihak calon-calon baik legislatif maupun presiden-wakil presiden yang dapat memungkinkan terjadi gesekan-gesekan horizontal berupa perpecahan, pertikaian dan konflik antar individu dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

Kasak-kusuk keberpihakan ini terjadi oleh karena kecenderungan memihak yang tidak dilandaskan pada penggunaan nalar dan akal sehat, tapi semata-mata hanya melibatkan perasaan yang ujung-ujungnya terjebak pada fanatisme sempit yang membabibuta.

Keberpihakan seperti ini adalah keberpihakan subyektif yang cenderung tidak obyektif. Isu hubungan kekeluargaan, kesamaan suku, agama, ras dan antar golongan menjadi landasan keberpihakan kebanyakan orang (baca: elit & rakyat kecil) tanpa melihat track record (rekam jejak) yang pernah ditorehkan oleh calon yang didukung dan tidak lagi mempertimbangkan latar belakang kompetensi, kapabilitas dan integritasnya (bibit-bebet-bobot-bubut-babat).  Fenomena ini memang patut disayangkan, tapi itulah kenyataannya.

Keadaan ini tidak hanya terjadi pada konstituen pemilih di kalangan menengah ke bawah (rakyat kecil dan yang kurang/tidak terdidik) tapi juga dialami oleh konstituen pemilih pada kalangan menengah ke atas (elit dan yang terdidik) sekalipun. Hal ini mencerminkan kematangan berpolitik dan kedewasaan berdemokrasi  dari anak bangsa di negeri tercinta ini yang masih jauh dari harapan yang sesungguhnya.

Kematangan berpolitik dan kedewasaan berdemokrasi yang masih minim inilah yang sangat berpotensi menciptakan ketidakharmonisan di antara sesama anak bangsa, menjadi ancaman terhadap disintegrasi, dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Rakyat menjadi terkotak-kotak menjelang dan bahkan sesudah pesta demokrasi berakhir hanya karena meliliki perbedaan dalam keberpihakan politik.

Pembenaran-pembenaran hanya terjadi di dalam kelompok sendiri yang memiliki kesamaan pola pikir dan cara pandang. Kelompok lain selalu dianggap salah. Kelompok yang satu cenderung menjatuhkan kelompok yang lain. Tidak jarang negative campaign (kampanye negatif) dan bahkan black campaign diciptakan sebagai senjata penyebar fitnah terhadap lawan politik.

Segala cara dihalalkan atas nama menjaga dan melindungi kepentingan kelompoknya. Tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan moral dan etika dalam berpolitik dan berdemokrasi. Tidak ada lagi rasa kemanusian yang muncul dalam pola pikir dan tindakan dengan dalih: “Ini politik, bung!”, seolah-olah politik dan demokrasi adalah bidang ilmu tersendiri yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan moral, etika, dan bidang-bidang ilmu lainnya. Politik dan demokrasi dipakai menjadi alat dan/atau dipakai sebagai alasan menyerang/menciderai, dan bahkan memfitnah lawan politik.

Sungguh sebuah perilaku politik yang sulit diterima nalar dan akal sehat, baik ditinjau dari segi apapun. Pesta rakyat (khususnya Pilpres) yang seharusnya menjadi hajatan demokrasi yang memberi kegembiraan politik berubah menjadi ajang perseteruan nasional: caci-maki nasional, dan fitnah nasional.  

Sungguh disayangkan ajang perseteruan nasional ini diciptakan oleh konstituen pemilih kelas menengah ke atas yang adalah kalangan terdidik/berpendidikan dan/atau kalangan elit. Tercatat ajang perseteruan nasional ini baru pernah terjadi pada Pilpres kali ini (pada masa kampanye) dan terburuk dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Itu semua adalah hasil karya dari kaum terdidik/berpendidikan (kalangan elit).

Itulah wajah elit bangsa kita yang terdidik/berpendidikan, hanya karena keberpihakan politik yang abnormal, telah rela kehilangan nalar dan akal sehat. Fanatisme sempit yang membabibuta telah melumpuhkan pola pikir logis dan rasional yang berimbas pada pola tindakan yang menyimpang dari peradaban (biadab). Kelakuan elit yang tanpa nalar dan tanpa akal sehat ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi rakyat kecil (kalangan menengah ke bawah/tidak terdidik/kurang berpendidikan).

0 comments:

Posting Komentar