Rabu, 26 Februari 2014

AKU (Sajak-Sajak CHAIRIL ANWAR Dalam Kontemplasi)

A. G. Hadzarmawit Netti*)

Pada bulan Juli 1943 Chairil Anwar memperkenalkan salah satu sajaknya yang berjudul AKU dalam pertemuan Angkatan Muda di Pusat Kebudayaan di Jakarta. Sajak tersebut berbunyi sebagai berikut.

AKU

Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

                              (1943)

Sajak ini kemudian dimuat dalam media cetak Pemandangan (?) dengan judul Semangat. Menurut H. B. Jassin (1978:170), judul Aku diubah dengan judul Semangat  untuk menyesuaikannya dengan semangat zaman, supaya lolos dari sensor. Meskipun demikian alasannya, menurut apresiasi saya, judul Semangat tetap mencerminkan vitalitas Chairil Anwar. Sementara judul Aku lebih kuat mengesankan individualitas, sekaligus individualisme seorang Chairil Anwar sebagai ada yang meng-ada di tengah waktu demi mencapai apa yang merupakan kehausan baginya, yakni cita-cita. Dengan larik yang berbunyi “Kalau sampai waktuku”, Chairil menginsafi, sekaligus menyatakan tekad presensinya di tengah-tengah waktu dan di tengah-tengah ruang lingkungan hidupnya, yang tidak sepi dari pengaruh timbal-balik antara dibentuk dan/atau membentuk dunianya. Pengaruh timbal-balik ini cukup tajam bagi manusia. Sebab manusia—kapan pun dan di mana pun—senantiasa dihadapkan dengan pilihan: atau membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk, atau membentuk dirinya dan dunianya.

Manusia—dalam presensinya di dunia ini, kapan pun dan di mana pun—senantiasa didesak untuk menggumuli pilihan-pilihan tersebut. Dan tampaknya Chairil menginsafi hal ini sejelas-jelasnya, jikalau ia berkata: “Kalau sampai waktuku.” Apakah gerangan yang bakal Chairil buat, jikalau sudah sampai waktunya? Larik berikutnya berbunyi: “Kumau tak seorang ‘kan merayu/ Tidak juga kau.” Dengan larik ini Chairil menyatakan sikapnya secara jelas dan tegas, yaitu: ia tidak sudi membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk. Nosi dan emosinya ini ia pertajam sekali lagi dengan gaya eksklamasi: “Tak perlu sedu-sedan itu!”

Ya, lewat larik-larik tersebut Chairil menyatakan sikap dan prinsip hidupnya yang tidak sudi membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk, sebab membiarkan diri dan dunianya dibentuk berarti kehilangan kemerdekaan atau kehilangan kebebasan. Dan hal ini berarti pula kehilangan ketunggalannya sebagai persona sekaligus kehilangan tanggung jawab. Apa sebab? Agaknya karena Chairil menilai, atau setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dasar pertimbangan dan penilaian, bahwa dengan membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk dan dikungkung oleh lingkungan itu berarti bahwa individualitasnya dan individualismenya  tertelan atau tertimbus semangat lingkungan. Barangkali inilah alasannya, sehingga Chairil memilih untuk menolak pengaruh semangat lingkungan, dan gigih mempertahankan ketunggalannya sebagai persona, serta mempertahankan individualitas dan individualismenya, sehingga Chairil secara tegas berkata: “Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang.”

Dengan larik sajak sebagaimana dikutip di atas ini Chairil telah menetapkan dirinya: “Siapa dia”. Dengan larik sajak itu pula Chairil telah memilih dunianya sendiri untuk menjalani eksistensinya sebagai seorang manusia otonom. Akan tetapi dengan demikian Chairil harus mampu mempertanggungjawabkan dirinya dan/atau keotonomannya dalam menjalani eksistensinya, sebab dengan pilihannya itu tidak berarti bahwa ia akan bebas dari tantangan-tantangan. Rupanya semuanya itu telah Chairil pikirkan dan pertimbangkan, serta siap menghadapinya, jikalau ia sampai berkata: “Biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang menerjang”, kemudian diaksentuasikan lebih lanjut lagi dengan larik-larik yang berbunyi: “Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih perih/ Dan aku akan lebih tidak peduli…”

Demikianlah prinsip hidup dan prinsip perjuangan manusia otonom yang Chairil anut. Prinsip hidup dan prinsip perjuangan seperti ini Chairil rumuskan pada kesempatan lain sebagai berikut: “Tiap seniman harus seorang perintis jalan, adik! Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi laut lebar tak bertepi, seniman adalah dari hidup yang melepas bebas…” (baca: “Pidato Chairil Anwar 1943” [H. B. Jassin, 1978:136] ).

Lalu, apakah gerangan yang Chairil inginkan sesuai dengan pilihan dan kesediaannya untuk bertanggung jawab atas pilihannya itu? Jawabannya tersirat dalam larik terakhir sajaknya itu yang berbunyi: “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”  Larik ini adalah larik figuratif. Makna figuratif kata “hidup” dalam larik ini  adalah “to direct one’s course of life”, artinya, “menegakkan dan meluruskan arah atau tujuan hidup”. Sementara kata “seribu tahun” bermakna “lasting”; “continuing for a long time”, artinya, “berkelanjutan, atau berlangsung sepanjang masa”. Inilah tekad Chairil. Tekad yang mencerminkan harkat dan kebanggaan pribadi manusia otonom, sebagaimana tersirat dalam rumusan filosofis berikut ini:

“All life is a purposeful struggle (seluruh hidup adalah suatu perjuangan penuh arti), “and your only choice is the choice of a goal” (dan satu-satunya pilihanmu adalah pilihan terhadap sebuah cita-cita). “Do not let the hero in your soul perish…”, (Jangan biarkan pahlawan dalam jiwamu binasa…). “Check your road and the nature of your battle.” (Periksalah jalanmu dan sifat perjuanganmu). “The world you desired can be won”. (Dunia yang kau inginkan dapat dimenangkan). “It exists” (Ia ada); “it is real” (ia nyata); “it is possible” (ia bisa terjadi); “it’s yours” (ia kepunyaanmu).

“But to win it requires your total dedication” (Namun untuk memenangkannya membutuhkan pengabdianmu yang mutlak); “and a total break with the world of your past” (dan pemutusan yang mutlak dengan dunia masa lampaumu). “Fight for the value of you person” (Berjuanglah demi harga dirimu). “Fight for the virtue of your pride” (berjuanglah demi kebanggaanmu). “Fight for the essence of that which is man:” (Berjuanglah demi  keutamaan  yang dikehendaki manusia): “for his sovereign rational mind” (demi pikiran rasionalnya yang luhur dan tak terbatas).”  (Ayn Rand. For The New Intellectual. New American Library 1961:191-192). Inilah filsafat hidup yang dianut oleh Chairil Anwar, sebagaimana tersirat dalam sajaknya yang berjudul Aku. ***

*) Penulis, Penyair
    Alamat domisli: Jl. Kesekrom No 1 Naikolan-Kupang-NTT. 
    Sumber: Buku "Sajak-Sajak CHAIRIL ANWAR Dalam Kontemplasi"
                    B You Publishing Surabaya 2011
    Karya: A. G. Hadzarmawit Netti
    Web: http://bianglalahayyom.blogspot.com

0 comments:

Posting Komentar