A. G.
Hadzarmawit Netti*)
Pada bulan
Juli 1943 Chairil Anwar memperkenalkan salah satu sajaknya yang berjudul AKU dalam pertemuan Angkatan Muda di
Pusat Kebudayaan di Jakarta. Sajak tersebut berbunyi sebagai berikut.
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang ‘kan
merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
(1943)
Sajak ini
kemudian dimuat dalam media cetak Pemandangan
(?) dengan judul Semangat. Menurut
H. B. Jassin (1978:170), judul Aku diubah
dengan judul Semangat untuk
menyesuaikannya dengan semangat zaman, supaya lolos dari sensor. Meskipun
demikian alasannya, menurut apresiasi saya, judul Semangat tetap mencerminkan vitalitas Chairil Anwar. Sementara judul
Aku lebih kuat mengesankan
individualitas, sekaligus individualisme seorang Chairil Anwar sebagai ada yang meng-ada di tengah waktu demi mencapai apa yang merupakan kehausan baginya, yakni cita-cita. Dengan larik
yang berbunyi “Kalau sampai waktuku”, Chairil menginsafi, sekaligus menyatakan
tekad presensinya di tengah-tengah waktu dan di tengah-tengah ruang lingkungan
hidupnya, yang tidak sepi dari pengaruh timbal-balik antara dibentuk dan/atau
membentuk dunianya. Pengaruh timbal-balik ini cukup tajam bagi manusia. Sebab
manusia—kapan pun dan di mana pun—senantiasa dihadapkan dengan pilihan: atau
membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk, atau membentuk dirinya dan dunianya.
Manusia—dalam
presensinya di dunia ini, kapan pun dan di mana pun—senantiasa didesak untuk
menggumuli pilihan-pilihan tersebut. Dan tampaknya Chairil menginsafi hal ini
sejelas-jelasnya, jikalau ia berkata: “Kalau
sampai waktuku.” Apakah gerangan yang bakal Chairil buat, jikalau sudah
sampai waktunya? Larik berikutnya berbunyi: “Kumau
tak seorang ‘kan
merayu/ Tidak juga kau.” Dengan larik ini Chairil menyatakan sikapnya secara
jelas dan tegas, yaitu: ia tidak sudi membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk.
Nosi dan emosinya ini ia pertajam sekali lagi dengan gaya eksklamasi: “Tak perlu sedu-sedan itu!”
Ya, lewat
larik-larik tersebut Chairil menyatakan sikap dan prinsip hidupnya yang tidak
sudi membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk, sebab membiarkan diri dan
dunianya dibentuk berarti kehilangan kemerdekaan atau kehilangan kebebasan. Dan
hal ini berarti pula kehilangan ketunggalannya sebagai persona sekaligus
kehilangan tanggung jawab. Apa sebab? Agaknya karena Chairil menilai, atau
setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dasar pertimbangan dan penilaian, bahwa
dengan membiarkan dirinya dan dunianya dibentuk dan dikungkung oleh lingkungan
itu berarti bahwa individualitasnya dan individualismenya tertelan atau tertimbus semangat lingkungan.
Barangkali inilah alasannya, sehingga Chairil memilih untuk menolak pengaruh
semangat lingkungan, dan gigih mempertahankan ketunggalannya sebagai persona,
serta mempertahankan individualitas dan individualismenya, sehingga Chairil
secara tegas berkata: “Aku ini binatang
jalang/ Dari kumpulannya terbuang.”
Dengan larik
sajak sebagaimana dikutip di atas ini Chairil telah menetapkan dirinya: “Siapa
dia”. Dengan larik sajak itu pula Chairil telah memilih dunianya sendiri untuk
menjalani eksistensinya sebagai seorang manusia otonom. Akan tetapi dengan
demikian Chairil harus mampu mempertanggungjawabkan dirinya dan/atau
keotonomannya dalam menjalani eksistensinya, sebab dengan pilihannya itu tidak
berarti bahwa ia akan bebas dari tantangan-tantangan. Rupanya semuanya itu
telah Chairil pikirkan dan pertimbangkan, serta siap menghadapinya, jikalau ia
sampai berkata: “Biar peluru menembus
kulitku/ Aku tetap meradang menerjang”, kemudian diaksentuasikan lebih lanjut
lagi dengan larik-larik yang berbunyi: “Luka
dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih perih/ Dan aku akan lebih
tidak peduli…”
Demikianlah
prinsip hidup dan prinsip perjuangan manusia otonom yang Chairil anut. Prinsip
hidup dan prinsip perjuangan seperti ini Chairil rumuskan pada kesempatan lain
sebagai berikut: “Tiap seniman harus
seorang perintis jalan, adik! Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan
memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi laut lebar tak bertepi,
seniman adalah dari hidup yang melepas bebas…” (baca: “Pidato Chairil Anwar
1943” [H. B. Jassin, 1978:136] ).
Lalu, apakah
gerangan yang Chairil inginkan sesuai dengan pilihan dan kesediaannya untuk
bertanggung jawab atas pilihannya itu? Jawabannya tersirat dalam larik terakhir
sajaknya itu yang berbunyi: “Aku mau
hidup seribu tahun lagi.” Larik ini
adalah larik figuratif. Makna figuratif kata “hidup” dalam larik ini adalah “to direct one’s course of life”,
artinya, “menegakkan dan meluruskan arah atau tujuan hidup”. Sementara kata
“seribu tahun” bermakna “lasting”; “continuing for a long time”, artinya,
“berkelanjutan, atau berlangsung sepanjang masa”. Inilah tekad Chairil. Tekad
yang mencerminkan harkat dan kebanggaan pribadi manusia otonom, sebagaimana
tersirat dalam rumusan filosofis berikut ini:
“All life is a purposeful struggle (seluruh hidup adalah suatu
perjuangan penuh arti), “and your only choice is the choice of a goal” (dan
satu-satunya pilihanmu adalah pilihan terhadap sebuah cita-cita). “Do not let
the hero in your soul perish…”, (Jangan biarkan pahlawan dalam jiwamu binasa…).
“Check your road and the nature of your battle.” (Periksalah jalanmu dan sifat
perjuanganmu). “The world you desired can be won”. (Dunia yang kau inginkan
dapat dimenangkan). “It exists” (Ia ada); “it is real” (ia nyata); “it is
possible” (ia bisa terjadi); “it’s yours” (ia kepunyaanmu).
“But to win it requires your total dedication” (Namun untuk
memenangkannya membutuhkan pengabdianmu yang mutlak); “and a total break with the
world of your past” (dan pemutusan yang mutlak dengan dunia masa lampaumu). “Fight
for the value of you person” (Berjuanglah demi harga dirimu). “Fight for the
virtue of your pride” (berjuanglah demi kebanggaanmu). “Fight for the essence
of that which is man:” (Berjuanglah demi
keutamaan yang dikehendaki
manusia): “for his sovereign rational mind” (demi pikiran rasionalnya yang
luhur dan tak terbatas).” (Ayn Rand. For The New Intellectual. New American
Library 1961:191-192). Inilah filsafat hidup yang dianut oleh Chairil Anwar,
sebagaimana tersirat dalam sajaknya yang berjudul Aku. ***
*) Penulis, Penyair
Alamat domisli: Jl. Kesekrom No 1 Naikolan-Kupang-NTT.
Sumber: Buku "Sajak-Sajak CHAIRIL ANWAR Dalam Kontemplasi"
B You Publishing Surabaya 2011
Karya: A. G. Hadzarmawit Netti
Web: http://bianglalahayyom.blogspot.com
Alamat domisli: Jl. Kesekrom No 1 Naikolan-Kupang-NTT.
Sumber: Buku "Sajak-Sajak CHAIRIL ANWAR Dalam Kontemplasi"
B You Publishing Surabaya 2011
Karya: A. G. Hadzarmawit Netti
Web: http://bianglalahayyom.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar