"Maling Kandang": Cerita Pengantar Tidur Rakyat

Judul “Maling Kandang”: Cerita Pengantar Tidur Rakyat muncul ketika melihat pemberitaan di televisi (Selasa, 13 Januari 2015) seputar penetapan calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Cuma Catatan Harian Biasa

Tulisan ini cuma catatan harian biasa sebagaimana judul yang terpancang (terpampang, pen) nyata di atas. Sahabat-sahabat kompasianer boleh dengan leluasa memutuskan untuk mau membaca catatan ini atau langsung saja pindah ke lain hati.

Jayalah di Laut, Indonesiaku!

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki perbandingan luas wilayah laut dan daratan sebesar 70% : 30%. Luas keseluruhan wilayah Indonesia didominasi oleh 2/3 wilayah laut dan hanya 1/3 wilayah daratan.

Panggung Rising Star Indonesia Gagal “Ber-endang-endut”.

Rising Star Indonesia (Only Star Will Rise!) di RCTI, Jumat 28 November 2014, memasuki babak Lucky Seven yang mengusung tema “Dangdut dan Melayu”.

Sakitnya tuh di sini…! Di gigi ini…!

Tulisan ini sengaja dibuat bertele-tele, tidak “to the open” (maksudnya: to the point). Maklum napsu curhat lagi berada di puncak tertinggi! Sebenarnya poin dari tulisan ini adalah “cara mudah dan ampuh menghilangkan rasa sakit di gigi yang sangat membandel/menyiksa.”

Minggu, 31 Agustus 2014

Satu Hati, Cita, Cinta


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

SATU HATI, CITA, CINTA

lyric by: Pietro T. M. Netti
dedicated to: My’queen’May

satukan hati, satukan langkah kita
bergandengan tangan, seiring sejalan
Raih harap hari esok ceria
dengan langkah pasti

satukan cita, satukan cinta kita
jalin kembali simpul-simpul kasih
berpadu satu, seirama nada-
nada cinta-putih

tinggalkan.................,
semua perbedaan di antara kita
dan lepaskan.............,
keakuan diri membelenggu jiwa
tiada lagi perbedaan, tiada lagi pertentangan
satu hati, satu cita, satu cinta

Naikolan 271103

                Syair di atas adalah sebuah lirik lagu yang saya ciptakan pada 27 November 2003. Lagu ini sebenarnya adalah sebuah lagu cinta yang bertemakan ajakan untuk tidak memandang perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan kekasih menjadi satu masalah atau persoalan atau pertentangan yang serius yang akhirnya bisa mengancam kelangsungan dalam hubungan percintaan.

                Kebetulan sekali musim politik yang baru saja terjadi di Indonesia penuh intrik dan rekayasa yang bisa berujung pertikaian dan perpecahan. Dengan tensi politik yang cukup tinggi (atau boleh jadi sangat tinggi), saya melihat adanya kepberpihakan-keberpihakan politik yang menjurus pada ketidakharmonisan yang bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan dalam diri anak bangsa. Sebenarnya pertentangan-pertentangan yang ada adalah ulah segelintir elit yang sengaja ataupun berencana memanfaatkan kondisi politik ini untuk dijadikan sebagai ajang adu domba antar sesama anak bangsa.

                Maklum para elit (elit politik) memiliki kepentingan sendiri-sendiri tanpa melihat kepentingan yang lebih besar terhadap bangsa dan negara ini. Dan ini adalah cerminan elit yang opurtunis yang selalu pandai memancing di air keruh, yakni lihai memanfaatkan moment-moment kritis atau yang dibuat kritis untuk memuaskan dahaga kekuasaan mereka tanpa peduli kepada kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Dan setidaknya, rakyat sudah bisa melihat siapa oknum-oknum yang bisa dicap sebagai opurtunis sejati, dan siapa-siapa yang terkategori sebagai negrawan tulen.

                Musim politik yang baru lewat cukup menghadirkan tontonan/adegan kekanak-kanakan yang dilakoni oleh elit-elit yang suka cari muka, senang menjilat, dan tidak tau diri. Semoga rakyat yang belum terkontaminasi praktek politik yang tidak bermoral dan tidak beretika ini tidak terpengaruh dengan aksi bejat para elit tersebut. Namun, sadar atau tidak, sebagian besar rakyat pun telah terpengaruh dengan perilaku elit politik yang mau menang sendiri, dan merasa benar sendiri. Hal ini sangat nyata terjadi dalam kehidupan dan/atau pergaulan sosial (di dunia nyata) maupun di media-media sosial online (di dunia maya).

                Semoga dengan berakhirnya musim politik ini (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) yakni dengan telah dijatuhkannya ketok palu Mahkamah Konstitusi  Republik Indonesia, seluruh komponen bangsa bisa menerima keputusan hukum yang ada dan taat kepada supremasi hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sebagaimana lirik lagu di atas, marilah seluruh komponen bangsa bersatu-padu, bergandengan tangan, dan melangkah pasti demi masa depan Indonesia Jaya.  

Catatan:
Lirik SATU HATI, CITA, CINTA juga telah diposting di Notes Facebook Peter Netti pada 22 Juli 2014 lalu sesaat setelah Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia secara resmi menetapkan pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres,; Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia periode 2014-2019.

PEMILU PILPRES: Antara Tingkat Partisipasi & Keadaban (2)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Menjelang pesta demokrasi (Pemilu) Pilpres 9 Juli 2014 ini, ada hal baru dan unik yang dirasakan dengan munculnya 2 pasang kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan kandidat no 1 adalah pasangan Prabowo-Hatta (baca: 4 Daya Tolak Plus 1 Terhadap CapresJokowi), dan no 2 adalah pasangan Jokowi-JK (baca: 4 Daya Tarik Plus 1 Terhadap Capres Jokowi). Kedua pasangan ini berhasil menyita perhatian dari seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dan dari Sangihe sampai Rote. Rakyat Indonesia merasa seakan-akan ini saatnya yang tepat untuk turut serta memberikan hak suara mereka kepada kedua pasangan calon yang “bertarung”.

Dan hal ini menyebabkan muncul dua kubu besar di Indonesia di samping dua koalisi besar (gemuk dan ramping) yang ada di pusat yang dibentuk sebagai tim pemenangan untuk masing-masing calon. Dua kubu dan koalisi ini bukan hanya baersaing secara sehat malah saling menyerang di luar akal sehat satu dengan yang lainnya. Di satu sisi, pemilu pilpres kali ini berhasil mendulang partisipasi rakyak yang begitu besar, dan di sisi yang lain, pemilu pilpres kali ini juga berhasil menunjukkan seberapa tingginya moral, etika, keadaban dan bahkan keimanan/ketakwaan dari elit dan anak bangsa di negeri yang berketuhanan dan berperikemanusiaan ini.

Musim politik kali telah menjadi ajang caci maki, cemooh, dan fitnah di antara dua pihak yang saling “berseteru” mulai dari elit hingga ke rakyat kecil. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa musim politik kali sebagai ajang caci maki nasional, ajang cemooh nasional dan ajang fitnah nasional karena semua (baca: tidak semuanya tapi sebagian besar) orang menjadi wajib/mudah mencaci maki, mencemooh, dan memfitnah orang lain. Semua orang menjadi bebas-sebebas-bebasnya berekspresi tanpa mengindahkan sedikit pun nilai-nilai ketimuran yang katanya lebih beradab (baca: Kasak-KusukPerilaku Politik). Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum pun tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah atau menindak para pelaku caci maki, cemooh dan fitnah  kecuali hanya bisa menghimbau dan menghimbau agar menjaga suasana tetap kondusif. Sebuah fenomena baru yang sulit diterima akal sehat yang mudah-mudahan tidak berlanjut pada musim-musim politik berikutnya.  

Saat ini pesta telah usai, tapi kerja belum selesai. Presiden dan Wakil Presiden Terpilih sudah di depan mata berdasarkan ketok palu Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2014 (baca: SayaMemilih Jokowi). Kita harus percaya dengan supremasi hukum kita. Kalau ada yang masih belum puas, jangan salahkan hukum kita, tapi salahkan mereka yang berperkara yang tidak mampu meyakinkan kesembilan Hakim MK dengan bukti/fakta hukum yang lemah (baca: Kau Curangi Aku: Sebuah Senandung Galau). Tinggalkan kubu-kubuan, tinggalkan perbedaan, dan mari bersatu, bergandengan tangan mendukung kerja pemerintahan yang baru (yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014) demi kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia ke depan! MERDEKA!

Sabtu, 30 Agustus 2014

PEMILU PILPRES: Antara Tingkat Partisipasi & Keadaban (1)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Musim politik di negeri ini baru saja berlalu dengan berbagai kasak-kusuk (baca: Kasak-KusukPesta Rakyat) dan hiruk-pikuk politiknya (baca: PEMILU Dari Perspektif Masyarakat Pemilih Yang Buta Politik). Semua ini menjadi sebuah pembelajaran positif bagi seluruh anak bangsa di negeri ini. Tulisan kali ini tentang kenyataan-kenyataan yang dapat dilihat pada musim politik di Indonesia kali ini yang muncul dalam Pemilu Pilpres 2014 yang menghadirkan dua fenomena unik yang menggembirakan dan sekaligus yang tidak menggembirakan.

Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 tercatat sebagai satu-satunya pesta demokrasi yang sangat partisipatif di sepanjang orde/era reformasi yang sudah berusia 16 tahun, dan bahkan mungkin di sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak orde lama dan orde baru. Rakyat sebagai konstituen pemilih melaksanakan haknya dalam memeriahkan pesta demokrasi lima tahunan ini dengan penuh antusias tanpa teror dan intimidasi. Rakyat dengan penuh kesadaran, sukarela, dan senang hati berbondong-bondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna menyalurkan hak suara mereka.

Antusiasme ini pun terjadi pada mereka yang selama bertahun-tahun tidak mau peduli bahkan tidak tertarik sama sekali untuk memberikan hak suara mereka alias Golput (Golongan Putih). Sebagai warga negara yang baik, tentunya setiap orang seharusnya mau/bersedia memberikan hak suara mereka guna dapat memilih wakil-wakil rakyat maupun pemimpin yang sekiranya dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negara ini, Indonesia. Memberikan hak suara sama halnya dengan turut serta membangun masa depan bangsa dan negara tentunya ke arah yang lebih melalui wakil-wakil dan pemimpin yang kita pilih sendiri.

                Tapi namanya hak, setiap orang bisa memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya di dalam setiap perhelatan pesta demokrasi tersebut. Dan yang namanya hak, tidak ada sangsi hukum yang dapat dilimpahkan kepada mereka yang tidak melaksanakan haknya.

Ada berbagai alasan mengapa sebagian rakyat memilih untuk menjadi golput:
               
                Rakyat sudah bosan, bahkan muak dengan tingkah laku kebanyakan elit baik elit politik maupun elit pemerintahan yang cenderung hanya tinggi gunung seribu janji demi merebut simpati rakyat, janji tinggal janji untuk mengemis suara rakyat, dan mulut manis berbisa guna memperdayai rakyat kecil. Simpati, empati dan kepedulian kepada rakyat kecil telah menjadi menu wajib di setiap musim politik yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan.

Rakyat merasakan sendiri kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang semakin tajam antara si kaya dan si miskin, antara yang mewakili dan yang diwakili, serta antara yang memimpin dan yang dipimpin. Sebuah jarak senjang yang sangat-amat-terlalu jauh sejauh langit dan bumi. Sebagai warga negara yang baik, rakyat sudah menyiapkan dan memberikan jatah lumbung yang cukup kepada para wakil rakyat, para pemimpin bangsa dan para penyelenggara negara yang diberikan juga secara bertanggungjawab dari jatah lumbung milik rakyat sendiri yang masih berkekurangan. Tapi jatah lumbung selalu ditelan oleh tikus-tikus pencuri yang selalu rakus walaupun sudah buncit. Sangat mustahil, sampai kucing keluar tanduk sekalipun tidak akan pernah terjadi pejabat tikus berperut six pack, yang ada adalah berperut six month layaknya ibu hamil yang tinggal 3 bulan melahirkan. Ya, itulah potret negeri yang dihuni oleh banyak sekali pejabat bunting.

Rakyat melihat sendiri bagaimana hukum yang adalah panglima tertinggi di negeri ini dilecehkan dan diperkosa dengan penuh birahi oleh para bunciters. Pedang hukum memiliki 2 mata pedang yang sayangnya hanya tajam ke bawah, cepat sekali menebas rakyat kecil yang sebenarnya butuh keadilan. Sebenarnya bukan pedangnya, tapi si pengayun pedangnya yang tidak bernyali untuk menebas ke atas, dan tidak tega(?)menzolimi para manusia bunting(?). Malah pedangnya bisa ditawar-tawar layaknya transaksi pasar rakyat dan sekalian dengan harga diri si pemegang pedang pun bisa dijual sekaligus dan dibeli putus di bawah harga.  Penegakan hukum masih jalan-jalan di tempat malah lebih parah jika selalu isterahat di tempat,  dan/atau sedang bergerak maju tetapi dengan iringan lagu poco-poco (pinjam kritikan Megawati SP): maju satu langkah, mundur dua langkah, geser ke kiri, ke kanan, dan putar-putar di tempat.

                Dari beberapa alasan yang dikemukakan di atas, rakyat merasa percuma memberikan hak suara mereka di dalam setiap pesta/perhelatan politik yang dilaksanakan di negeri ini.

Sabtu, 16 Agustus 2014

AKU SANG MERAH-PUTIH


“Dirgahayu HUT RI ke-69”

Oleh: Pietro T. M. Netti

Aku sang Merah
Berkibar dalam semangat, merobek angkasa dalam gelora
Menjemput harap di puncak tertinggi

Aku sang Merah
Menetes dalam pengorbanan, bersimbah darah tanpa perih
Menggapai kemenangan bagimu pertiwi

Aku sang Putih
Tegak berdiri di antara tulang-tulang nusantara yang kian rapuh
Kokoh menopang harap bagimu negeri

Aku sang Putih
Tetap setia mencinta selamanya, tulus mengabdi tiada pamrih
Memberi jiwa dan raga bagimu nusa dan bangsa

Aku sang Merah, aku sang Putih
Adalah darahku, adalah tulangku
Membentang sepanjang katulistiwa, dari Timur ke Barat, Utara ke Selatan

Aku sang Merah, aku sang Putih
Adalah  jiwaku, adalah nafasku
Menghempas tirai, menembus batas di antara nusa, bangsa dan bahasa

Berkibarlah di angkasa!
Berkobarlah dalam darah!


Naikolan, 17 August 2012