|
Hukum & Undang-undang Pornografi (Gambar: Liputan6) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Pornografi di dunia maya tumbuh laksana jamur di musim
hujan, walaupun tidak sedikit situs/ website berisi pornografi yang sudah diblokir oleh pemerintah di era
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Nama yang kerap menjadi sorotan media
karena sibuk membredel situs-situs
berbahaya ini lewat kementeriannya adalah mantan Menteri Komunikasi dan
Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Tifatul Sembiring.
Alasannya sudah pasti agar dapat melindungi rakyat
Indonesia supaya tidak terjerumus dalam konten-konten pornografi sebagaiamana
yang dicontohkan oleh salah satu mantan anggota dewan rekan separtainya, Arifinto. Sang anggota DPR RI asal PKS
tersebut tertangkap basah oleh kamera wartawan sedang asik menikmati adegan mesum
melalui gadget handphone-nya di dalam
ruang sidang DPR RI. Namun sahabat baik Tifatul ini membantah jika ia tidak
sedang asik menikmati, tetapi ia tidak sengaja membuka link yang dikirim oleh temannya (hehe…alasan…alasan..!). Dan kalau tidak
salah, di era Tifatul menjabat sebagai Menkominfo pulalah seluruh tayangan
televisi di-blur bagian-bagian yang “terpampang nyata” (pinjam Syahrini) demi
tidak mengumbar aurat yang mengundang
syahwat dan birahi.
Di dunia maya (dumay), tersedia begitu banyak
layanan/konten pornografi yang mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan
dimana saja, sampai-sampai sang Menteri yang kerjanya memerangi situs-situs
haram inipun salah meng-klik alias tidak sengaja atau tidak berniat
meng-klik (katanya sih) dan tentu
saja tidak pula berniat menjadi follower
dari salah satu akun porno di twitter (hehe…senjata makan tuan atau tuan makan senjata nih?). Tayangan-tayangan
iklan yang berhubungan dengan pornografi pun tersebar luas dimana-mana lengkap
dengan ungkapan, gambar, animasi dan video yang fulgar. Iklan-iklan tersebut
menawarkan banyak hal yang berhubungan dangan dan/atau mengandung unsur
pornografi.
Di tengah pesatnya perkembangan media online saat ini, mau tidak
mau kita harus berhadapan (head to
head) dengan derasnya arus informasi yang datang di hadapan kita. Benar
kata pepatah “dunia tidak selebar daun
kelor” tapi cuma selebar layar monitor komputer, dan layar gadget Ipad/HP.
Seluruh informasi yang ada di bawah kolong langit ini dapat diakses bebas oleh siapapun
tanpa mengenal ruang dan waktu. Pertanyaan yang muncul: “Sudah siapkah kita
saat ini menyikapi derasnya arus informasi di media-media online dan menyaring
konten-konten informasi mana saja yang patut
atau tidak patut dan/atau layak atau tidak layak dikonsumsi?”
Sebagai pengguna internet (netizen), kita bebas menentukan kemana arah langkah kita
berselancar di dunia maya; menuju ke konten-konten positif atau ke
konten-konten negatif. Semua pilihan terserah pada kita sendiri yang
memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting adalah kita juga diberi kebebasan
seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau membentengi diri sendiri
dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa terhindar dan tidak
terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan. Sekali lagi, semua terserah kita! (Lihat:
Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?)
Siapapun kita bisa menjadi netizen. Apalagi dengan maraknya media-media sosial yang
bermunculan, kita bebas bergabung dan berinteraksi. Kita dapat sebebas-bebasnya
memberikan pendapat, pandangan dan opini kita tentang apa saja yang sedang
terjadi. Kita pun bebas mengekspresikan diri melalui media-media ini baik dalam
kata-kata, gambar, animasi, audio maupun video. Hanya saja yang terjadi
belakangan ini adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kita miliki
disalahartikan dengan bebas (baca: sewenang-wenang) menyerang orang/pribadi
tertentu dengan tidak lagi mempedulikan tatanan nilai, moral, etika dan
religiusitas di dalam masyarakat beradab yang berketuhanan dan berperikemanusiaan.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyebaran gambar
porno oleh si pembantu tukang sate, Muhammad Arsyad, belum lama ini. Arsyad
dilaporkan ke polisi oleh politisi PDIP Hendri Yosoningrat pada 27 Juli 2014
atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran gambar pornografi
Presiden
Jokowi. Pada Kamis, 23 Oktober 2014, ia ditangkap dan ditahan di
Bareskrim Polri.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4.
Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal
156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.
Khusus tentang pornografi, berikut ini adalah ulasan
tentang undang-undang pornografi di dunia maya yang dikutip dari Hukum Online.
Ulasan berikut adalah sebuah jawaban oleh Shanti
Rachmadsyah, SH atas pertanyaan seputar Cyber Pornografi (Pornografi di
dunia maya).
Pertanyaan: Cyber pornography (pornografi dunia maya). “Selamat sore, saya mau bertanya, andaikata
ada permasalahan mengenai pornografi dunia maya (cyber pornography) misalnya,
website atau pun forum tertentu, undang-undang manakah yang akan berlaku,
apakah KUHP, UU Pornografi atau UU ITE? Apakah asas lex specialis derogat legi
generalis berlaku terhadap undang-undang tersebut (tiga UU yang dimaksud di
atas)? Atau apakah ada pertentangan atau konflik di antara ketiga UU tersebut?
(kalau ada, maka UU manakah yang dipergunakan?) Terima kasih sebelumnya.” EDUARDNONG
Jawaban: Pornografi
di dunia maya disebut dengan istilah cyber
pornography yang dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Tindak pidana
pornografi di dunia maya dapat dijerat dengan pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana), UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik), dan Undang-undang Pornografi.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Memang dalam KUHP tidak dikenal istilah dan/atau kejahatan
pornography, tapi ada pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan ini, yakni
pasal 282 KUHP:
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar
kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut,
memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau
memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan
mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa
diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”
UU ITE (Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik)
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) pun tidak mengenal adanya istilah pornography,
tetapi muatan yang melanggar kesusilaan.
Penyebarluasan muatan yang melanggar
kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai
Perbuatan yang Dilarang, yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan
pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milyar
(pasal 45 ayat [1] UU ITE).
UU Pornografi (Undang-undang Pornografi)
Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai
pornografi melalui internet adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU
Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 angka 1 UU Pornografi
adalah:
“… gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.”
Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di
internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu;
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.”
Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana penjara
paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar (pasal 29 UU
Pornografi).
Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.