Marthen Dira Tome (Gambar: Pos Kupang) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Senin, 17 November 2014, suasana Dinas Pendidikan Dan
Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Jl. Jend. Soeharto, depan kampus
Universitas Nusa Cendana lama, dikejutkan dengan kedatangan sejumlah aparat
berseragam Brimob Polda Nusa Tenggara Timur dengan bersenjata lengkap. Kedatangan
anggota Brimob secara mendadak ini sempat membuat panik para pegawai di dinas
setempat yang baru saja melaksanakan apel pagi (Apel Kesadaran tiap tanggal
17).
“Mungkinkah ada kasus tindak kejahatan/kriminal yang sedang
terjadi? Atau mungkinkah ada teror yang dilancarkan oleh orang tidak dikenal
yang mengancam keselamatan kantor dan karyawan?”
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di benak
pegawai-pegawai saat itu. Suasana baru sedikit mencair ketika di antara kurang
lebih sepuluh personil Brimob tersebut terdapat pula aparat penegak hukum
lainnya yang mengenakan rompi yang bertuliskan
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Walaupun demikian, suasana tetap
menegangkan, karena kehadiran para aparat penegak hukum ini (KPK) tidak
disangka-sangka sebelumnya oleh para karyawan.
“Kami tidak menyangka sama sekali KPK akan datang! Tidak
ada pengumuman atau pemberitahuan sebelumnya!”, ungkap beberapa karyawan.
Kehadiran KPK di Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi
NTT terkait dengan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi dana Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) tahun 2007. Kasus korupsi ini melibatkan Bupati Sabu Raijua,
Marthen Dira Tome, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Bidang PLS. Status
orang nomor satu di Kabupaten Sabu Raijua telah ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK, setelah sekian lama terkatung-katung di Kejaksaan Tinggi NTT.
Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam pengelolaan dana
PLS ditemukan penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukkannya yang menyebabkan
kerugian negara sebesar Rp. 77 miliar (Pos Kupang).
Penetapan status tersangka kepada Marthen oleh KPK ini
menjadi sorotan tersendiri bagi masyarakat NTT pada umumnya, mengingat NTT
adalah salah satu Propinsi yang belum pernah dijamah oleh KPK sebelumnya. Dari sekian banyak kasus korupsi di
Indonesia yang ditangani, dan sekian banyak tersangka koruptor yang ditetapkan oleh
KPK, belum ada satupun kasus korupsi di NTT yang ditangani oleh KPK. Begitu
pula dengan belum adanya satu pun tersangka koruptor di NTT yang ditetapkan
oleh KPK.
Memang telah banyak tersangka kasus korupsi yang sudah
ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan dan dijebloskan ke dalam penjara,
tapi tingkat kepuasan masyarakat belum sepenuhnya terobati jika bukan KPK yang
menanganinya langsung. Mengingat pula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
ini memang untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
“Para koruptor seharusnya digilas sendiri oleh KPK!”, demikian harapan masyarakat NTT.
Saat ini masyarakat NTT mulai melihat titik terang
pemberantasan korupsi di NTT, walaupun masih banyak kasus yang diduga
menyelewengkan uang negara ini belum sepenuhnya tersentuh oleh KPK. “Bola pertama” telah dijemput KPK, dan
kiranya KPK akan terus menjemput “bola-bola”
berikutnya yang masih bebas “menggelinding”
di tanah Flobamora (Flores,
Sumba, Timor, Alor) baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
[http://regional.kompasiana.com/2014/11/28/kpk-menjemput-bola-pertama-di-ntt-689030.html]
0 comments:
Posting Komentar