TNI & Polri (Gambar: RADARONLINE.CO.ID) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Batam, Kepulauan Riau, kembali bergejolak. Hujan peluru
menderas langit malam negeri Lancang
Kuning (Rabu, 19 November 2014).
Bentrok TNI-Polri kembali berkecamuk hanya karena dipicu
persoalan sepele. Saling tatap menggoda
antara beberapa oknum aparat keamanan tersebut mengakibatkan perseteruan yang
menyeret dua institusi yang sama-sama memiliki angakatan bersenjata. Pandang
bertemu pandang mengusik rindu dendam yang terpendam. Hujan peluru pun
berkecamuk mengusik ketenangan rakyat sipil di jalan Trans Barelang-Trembesi,
Batam. Oknum aparat diketahui berasal dari Yonif 134/Tuah Sakti dan Satuan
Brimob Polda Kepri.
Sebelumnya, masih lekat dalam ingatan kita beberapa waktu
yang lalu yang juga terjadi di negeri tetangga Singapore ini (21 September
2014), telah terjadi ketegangan di antara institusi TNI dan Polri sebagai
akibat dari jatuhnya 4 korban luka dari pihak TNI AD yang tertembak oleh
senjata aparat kepolisian. Bermula dari penggerebekan oleh aparat kepolisian
terhadap gudang penyimpanan bahan bakar minyak illegal oleh oknum pengusaha
setempat. Dari hasil penyelidikan tim investigasi gabungan bentukan TNI-Polri,
Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan bahwa ada anggota Yonif 134 yang
menjadi tenaga pengamanan tempat penimbunan BBM tersebut (MERDEKA.COM).
Bentrokan yang terjadi (Rabu, 19/11/2014) akibat lirikan mata ini mengakibatkan 1 anggota
Yonif 134/Tuah Sakti tewas dalam baku tembak kontra Brimob Polda Kepri. Anggota
TNI yang tertembak dan yang belum diketahui identitasnya ini tewas sesaat
setelah dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Embung Fatimah. Korban
diduga mengalami pendarahan hebat akibat tertembak di bagian dada dan pundak.
Sementara itu, informasi terbaru menyebutkan, masih ada seorang anggota TNI
Yonif 134 lainnya yang ikut dilarikan ke RSUD Embung Fatimah dengan ambilans
Yonis 134. Anggota TNI tersebut mengalami luka-luka (JPNN.COM).
Pantauan melalui MetroTV semalam menunjukkan arogansi aparat
keamanan yang tidak memikirkan keteriban dan ketenangan umum. Adu tembak
berlangsung di tengah hiruk pikuk aktifitas masyarakat yang sedang bergelut
dengan kehidupan. Suasana mencekam dipertontonkan di hadapan publik. Adu kuat
dua institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat menjadi teror
yang menakutkan. Jika kejadian seperti ini selalu saja terjadi, kemana/kepada
siapa lagi rakyat harus mencari perlindungan? Apakah rakyat pantas meminta
perlindungan kepada mereka yang hanya bisa membuat onar dan teror?
Bentrok TNI-Polri telah menjadi fenomena biasa di negeri
semenjak Reformasi 1998, yakni sejak diberlakukan pemisahan fungsi dan tugas
kedua institusi tersebut. “Ada apa sebenarnya dengan kedua lembaga ini?” Ini
menjadi pertanyaan yang tak terjawab untuk sekian lama tahun sejak memasuki Orde
Reformasi. Secara umum peran dan tugas TNI dan Polri sebagai berikut: TNI
menjaga keamanan dan pertahanan negara, dan Polri lebih ke memberikan pelayanan
masyarakat (DATABASEKONTEN.COM).
“Lalu kenapa selalu saja terjadi gesekan di antara kedua
lembaga ini?”
Berikut ini adalah liputan KOMPAS.COM (9 Mei 2012): TNI dan
Polri Mutlak Berubah
“Upaya menekan arogansi TNI dan Polri
mutlak dilakukan dengan perubahan mendasar di tubuh kedua institusi itu. Masalah
yang mengakar di kedua institusi itu harus diselesaikan secara tuntas untuk
memastikan anggotanya benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan ”musuh” rakyat.
Menurut pengajar Universitas
Pertahanan, Jakarta, Anton Aliabbas, pasca-pemisahan dari TNI, tidak terlihat
perubahan mendasar yang dilakukan Polri, termasuk militerisme yang tidak
dihilangkan. Polri tidak dibangun dengan wajah yang lebih humanis. ”Selama ini,
penanganan oleh Polri sedikit banyak pengaruh militeristik, bukan mengedepankan
bahwa polisi itu harus melayani,” kata Anton, Selasa (8/5/2012).
Sementara itu, upaya perubahan di TNI
pun menghadapi kondisi tak kalah kompleks. TNI membawa beban masa lalu yang
menempatkan mereka sebagai ”warga kelas satu”. ”Problem ini mau tidak mau
kemudian memengaruhi arogansi,” lanjutnya.
Ia mencontohkan soal penggunaan
senjata. Semestinya senjata hanya digunakan anggota yang bertugas. Tidak semua
satuan di Polri perlu membawa senjata. Untuk TNI, aturannya mesti lebih ketat.
Tidak ada senjata yang dibawa kalau anggotanya tidak menjalankan tugas operasi,
tidak ada senjata yang dibawa pulang ke rumah.
”Kalau ada pelanggaran, tidak ada lagi
sanksi yang hanya berupa etika atau disiplin. Semua harus dibawa ke pengadilan.
Pelanggaran marak karena mereka merasa sanksinya ringan. Masa mukulin orang
cuma sanksi etika atau disiplin?” ujar Anton.
Pengamat militer dari Universitas
Indonesia, Edy Prasetiono, menilai, situasi keamanan yang gamang ini merupakan
hasil dari minimnya kemampuan elite, yaitu pemerintah dan parlemen, dalam
menganalisis dan membuat kebijakan keamanan. Analisis masalah tak sampai ke
akarnya.
Edy menyatakan, sebenarnya sudah ada
pembagian kewenangan jelas antara TNI dan Polri. TNI berfungsi untuk pertahanan
internal dan eksternal. Polri bertanggung jawab dalam ketertiban masyarakat,
yang demi tujuan ini melakukan penegakan hukum, pengayoman, dan perlindungan
masyarakat.
Edy mengusulkan ada sistem perekrutan
anggota Polri yang lebih ketat sehingga dihasilkan aparat profesional.
Pengawasan yang selama ini dipegang Komisi Kepolisian Nasional harus lebih
diperkuat. Untuk TNI harus diperbanyak pelatihan dan penyusunan sistem
pengawasan yang ketat.
Arogansi aparat, kata Sekretaris
Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja
Indonesia Benny Susetyo, menunjukkan dilupakannya fungsi dan tugas melindungi
rakyat. Hal itu diperparah tak adanya pemimpin yang berwibawa.
Jika ada kemauan politik dan
kewibawaan pemimpin, semestinya kedua lembaga itu bisa ditata. Nilai-nilai
Sapta Marga dan Bhayangkara bisa dihayati dan menjadi aturan main di lembaga
penegak hukum itu.
Namun, pengajar Ilmu Hukum Tata Negara
Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, menilai, sesungguhnya TNI dan
Polri masih memahami fungsinya. Masalahnya, ujarnya, pendayagunaan untuk
tugas-tugas mereka tidak maksimal. Ketika peran polisi di keamanan meluas,
peran TNI tidak berkembang. Akibatnya, ada peluang bermain- main di lahan yang
dulu menjadi bagian TNI itu. Rivalitas kedua lembaga semakin kuat.
Seharusnya, kata pengamat kepolisian
Bambang Widodo Umar, kepolisian tidak ditempatkan di bawah presiden, tetapi di
bawah kementerian. Dengan keberadaan langsung di bawah presiden, polisi rentan
digunakan oleh kekuasaan. (FAJ/INA/EDN/DIK/IAM/ONG)”
(http://regional.kompasiana.com/2014/11/20/bentrok-tni-polri-di-batam-tatapan-menggoda-berujung-baku-tembak-687623.html)
0 comments:
Posting Komentar