Oleh: Pietro T. M.
Netti
Pileg,
Pemilu Legislatif, sudah di depan mata. Sebentar lagi kita sebagai warga negara
yang baik akan menggunakan moment ini untuk menyalurkan hak suara kita pada calon-calon
legislatif (caleg) baik dari pusat (DPR RI) sampai daerah (DPR Propinsi dan
Kabupaten/Kota) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dari
sekian banyak calon yang ada, “Siapa yang akan kita pilih” untuk mewakili
aspirasi kita dan daerah kita?
Pada
musim politik saat ini, tidak dipungkiri, ada begitu banyak (baca: semua) calon
baik incumbent maupun new comer yang turun ke lapangan untuk mensosialisasikan diri; memperkenalkan
diri dan menyampaikan visi-misi mereka kepada konstituen pemilih.
Berbagai
bentuk pendekatan dilakukan guna
merebut simpati mulai dari jaringan pertemanan/kekerabatan dalam lingkup
sosial, keluarga, pekerjaan, kelompok/organisasi kemasyarakatan
suku-agama-ras-antar golongan.
Sebagai
masyarakat pemilih yang sebagian besar tidak paham dengan dunia perpolitikan,
kita cenderung mengabaikan (baca: tidak mau tahu) tentang visi-misi calon wakil
rakyat kita. Kita memilih berdasarkan faktor-faktor lain seperti yang telah
saya sebutkan di atas tentang bentuk-bentuk
pendekatan yang mungkin saja tidak berhubungan dengan visi-misi tentang
bangsa, negara dan daerah ini ke depannya.
“Memilih
karena faktor lain pun tidak menjadi masalah karena kita tidak dapat tidak mengingkari kondisi kekinian kita sebagai
masyarakat pemilih yang masih buta politik.”
Kita
seringkali terlibat dalam sebuah kampanye terbuka partai politik/calon
legislatif hanya karena diajak, untuk bersenang-senang, untuk hura-hura (ikut ramai), dll, bukan karena kesadaran
kita sebagai masyarakat politik. Kita cenderung mengikuti sebuah pertemuan yang
bersifat sosialisasi hanya karena tidak tega
menolak undangan sosialisasi yang telah dikirim ke rumah kita. Dan kadangkala
kehadiran kita baik pada kampanye terbuka dan pertemuan-pertemuan sosialisasi
karena ada daya tarik lain yang menggoda.
Ada
ungkapan dalam dialek/bahasa Kupang yang sudah merakyat di hati rakyat pemilih: “Kalo beta ikut, beta dapat apa?” Dan
secara psikologis, ungkapan ini dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh partai/caleg penyelenggara hajatan (kampanye terbuka/pertemuan
akbar) untuk sebesar-besarnya kemakmuran (baca: kepentingan)
partai/caleg.
Pengerahan
massa pun dilakukan dengan berbagai trik: membagi-bagikan baju kaos gratis, memberi biaya transportasi, membayar para ojekers (tukang ojek) seadanya sebagai
pengganti penghasilan mereka di hari hajatan
tersebut. Begitu pula dengan hajatan-hajatan dalam skala yang lebih
kecil; makan-minum bersama,
membagikan souvenir (kalender, jam dinding, dll) menjadi sebuah daya tarik yang laku keras di kalangan rakyat kecil.
Apa
yang baru saja dijelaskan di atas mengenai iming-iming
dari partai/caleg kepada kita sebagai masyarakat pemilih pun tidak salah,
karena sejauh ini kegiatan-kegiatan seperti yang telah disebutkan tidak
terbukti sebagai atau bukanlah sebuah pelanggaran pemilu.
Namun
kita sebagai masyarakat pemilih jangan menerima pemberian-pemberian tersebut sebagai sebuah kontrak kerja yang mengharuskan kita memilih partai/caleg dimaksud.
Iming-iming tersebut bukanlah sebuah harga mati yang mengikat independensi (kebebasan) kita dalam menjatuhkan
pilihan.
Kita
sebagai masyarakat pemilih harus terbebas dari ikatan-ikatan apapun (lihat: bentuk-bentuk
pendekatan di atas dan pemberian-pemberian
yang diperoleh!). Kita walaupun buta politik
dituntut untuk bisa cerdas dalam
memilih calon-calon wakil rakyat yang tidak sedikit ini, agar tidak terkesan memilih kucing dalam karung.
“Caranya
gampang…!”
Walaupun
kita buta politik, tapi tidak buta hati nurani. Sebagai masyarakat
yang hidup dan bersosialisasi dalam kehidupan beragama, janganlah kita mengabaikan suara hati nurani kita. Sebagai manusia
religius, kita tentu memiliki
nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran yang hakiki yang terpelihara
di dalam hati kita.
Nilai-nilai
tersebut adalah pedoman berharga yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai umat
ciptaan-Nya yang paling mulia. Kita harus pandai-pandai mendengar bisikan hati nurani kita yang terdalam.
Karena bisikan hati nurani adalah suara roh yang berasal dari Tuhan. Maka
benarlah ungkapan Latin “Vox Populi Vox Dei”: Suara Rakyat adalah Suara Tuhan
(William of Malmesbury-abad ke-12).
Walaupun
kita buta politik, tapi tidak bodoh. Dalam hal memilih (memberikan hak
suara), kita tidak harus melek politik.
Kita tidak harus mengerti politik baru bisa memilih. Sebagai warga negara yang
baik, kita diharuskan menggunakan hak
pilih kita sebaik mungkin tanpa harus belajar untuk berpolitik/belajar
politik terlebih dahulu.
Sebagai
manusia yang dikaruniai oleh Tuhan akal
budi, kita tentu memiliki standar-standar nilai kebaikan dalam diri tiap-tiap pribadi. Orang yang tidak
beragama sekalipun memiliki standar nilai kebaikan
yang dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai kebaikan
orang lain. Tentunya setiap kita dapat dan berhak menilai apakah seorang calon
itu baik menurut kita atau tidak
untuk bisa mewakili aspirasi kita.
Dewasa
ini kebaikan menjadi komoditi yang
bisa direkayasa. Kebaikan telah menjadi trend musiman
yang diresepkan hanya 5 tahun sekali
(1x5 tahun, seperti resep dokter) setiap
memasuki musim politik. Kebaikan sering
diterjemahkan dengan memberi bantuan kepada rakyat kecil (baca: miskin) dengan
dalih kepedulian, simpati dan empati, namun bukan
tanpa syarat. Syaratnya: “Pilihlah aku jadi pacarmu!” Bantuannya pun diberikan sesuai dengan resep dokter di atas.
Padahal
yang namanya rakyat miskin memang sepantasnya dibantu dan diperhatikan tanpa
syarat apapun. Tentunya kita sebagai masyarakat pemilih bisa membedakan hal berbuat baik yang lagi marak di
saat-saat menjelang pemilu ini sebagai kebaikan
tulus atau kebaikan rekayasa. Pribadi
yang baik tentu gampang memilahnya.
Walaupun
kita buta politik, tapi beretika. Etika adalah sebuah nilai yang berhubungan dengan norma-norma dalam
kehidupan pergaulan. Norma-norma tersebut menjelaskan tentang cara bergaul
antar sesama dan kelompok (maupun negara) yang baik. Etika memiliki makna berupa aturan prilaku, adat kebiasaan manusia
dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang
buruk.
Di
sini kita semua sebagai masyarakat tentu memahami tentang apa itu etika. Malah kalau boleh dikatakan, kita
sebagai rakyat kecil masih memelihara dan lebih mengedepankan etika
atau cara hidup yang baik dan bermoral dibanding lakon para tokoh/elit politik dan penguasa yang dipertontonkan di
berbagai media. Saling menghormati dan menghargai, hidup dengan sopan santun dan
tata krama sangat dijunjung tinggi oleh kita sebagai cerminan manusia yang
beradab dan berbudaya.
Dalam
menentukan pilihan kita, kita pun perlu menggunakan standar etika kita terhadap para calon yang
sedang menjajakan dirinya. Kita perlu
memiliki referensi tentang siapa para calon yang akan bertarung. Bagaimana cara hidup para calon di dalam kehidupan pergaulan
sosial mereka sehari-hari. Karakter dan sifat dari para calon pun perlu ditelusuri
sebagai sebuah track record yang
patut menjadi pertimbangan. Memang tak
ada gading yang tak retak, tapi kita harus menyeleksi yang terbaik dari yang
terbaik.
Kita
tentu bisa membedakan apa yang baik
dan apa yang tidak baik, dan orang yang baik dan orang yang tidak baik. Oleh
sebab itu pilihan kita harus jatuh pada calon/orang
yang baik secara etika dan moral. Pilihlah orang-orang (calon) yang
kita kenal secara baik dan pastikan
bahwa orang/calon tersebut juga adalah orang
yang baik. Pilihlah calon dengan track
record yang baik, bukan calon yang merekayasa
kebaikannya berdasarkan resep dokter: 1x5.
Walaupun
kita buta politik, tapi punya harga diri. Kita adalah masyarakat
pemilih yang memiliki harga diri. Harga
diri adalah totalitas nilai dan kebanggaan diri kita yang tidak dapat tergantikan oleh apapun baik harta
ataupun materi. Nilai dan kebanggaan diri tersebut mencakup hati
nurani, idealisme/paham, cita-cita luhur dan melakukan apa yang kita yakini
sebagai sebuah kebenaran.
Dalam
menghadapi masa kampanye pemilihan legislatif dan sosialisasi saat ini, kita
dihadapkan dengan berbagai macam figur calon yang mungkin saja sangat
membingungkan. Di sana-sini terjadi tawaran
visi-misi, sosialisasi diri, dan bahkan mungkin ada tawaran-tawaran
menggiurkan lainnya yang bisa meruntuhkan dan melecehkan harga diri kita.
Kita
harus cerdas menentukan pilihan kita
pada calon anggota yang tepat. Kita memiliki otoritas dan hak penuh dalam
menentukan pilihan kita yang terbaik tanpa harus tergoda untuk menggadaikan hak suara kita dengan nilai
rupiah atau materi. Hak suara kita jauh lebih berharga dari rupiah. Hak suara kita
jauh lebih tinggi dari materi. Hak suara kita adalah harga diri kita. Hak suara
kita adalah jati diri kita. Kita tidak perlu bersimpati kepada oknum-oknum yang
merasa dapat membeli hak suara kita
atau dapat menyogok hak suara kita dengan sejumlah materi.
Kita
sebagai masyarakat pemilih juga tidak terlepas dari ruang/tempat dimana kita
berada. Oleh sebab itu kita harus memilih calon yang diyakini dapat mewakili
aspirasi kita dari tempat di mana kita berada. Pilihlah calon yang berasal dari
tempat domisili kita yang sudah pasti akan lebih memahami kebutuhan-kubutuhan
daerah pemilihannya dibanding dengan memilih calon dari luar.
Akhirnya,
marilah kita menyukseskan pesta rakyat 5 tahunan ini dengan betul-betul
menjatuhkan pilihan pada orang yang baik dan orang yang tepat demi kemajuan
bangsa, negara dan daerah tercinta ini ke depannya. Kita mungkin buta politik, tapi tidak buta
segala-galanya. Kita masih punya hati
nurani, tidak bodoh, masih beretika dan punya harga diri.
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
BalasHapusDEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<