Jumat, 28 Maret 2014

PEMILU Dari Perspektif Masyarakat Pemilih Yang Buta Politik.


Oleh: Pietro T. M. Netti

Pileg, Pemilu Legislatif, sudah di depan mata. Sebentar lagi kita sebagai warga negara yang baik akan menggunakan moment ini untuk menyalurkan hak suara kita pada calon-calon legislatif (caleg) baik dari pusat (DPR RI) sampai daerah (DPR Propinsi dan Kabupaten/Kota) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dari sekian banyak calon yang ada, “Siapa yang akan kita pilih” untuk mewakili aspirasi kita dan daerah kita?

Pada musim politik saat ini, tidak dipungkiri, ada begitu banyak (baca: semua) calon baik incumbent maupun new comer yang turun ke lapangan untuk mensosialisasikan diri; memperkenalkan diri dan menyampaikan visi-misi mereka kepada konstituen pemilih.

Berbagai bentuk pendekatan dilakukan guna merebut simpati mulai dari jaringan pertemanan/kekerabatan dalam lingkup sosial, keluarga, pekerjaan, kelompok/organisasi kemasyarakatan suku-agama-ras-antar golongan.

Sebagai masyarakat pemilih yang sebagian besar tidak paham dengan dunia perpolitikan, kita cenderung mengabaikan (baca: tidak mau tahu) tentang visi-misi calon wakil rakyat kita. Kita memilih berdasarkan faktor-faktor lain seperti yang telah saya sebutkan di atas tentang bentuk-bentuk pendekatan yang mungkin saja tidak berhubungan dengan visi-misi tentang bangsa, negara dan daerah ini ke depannya.

“Memilih karena faktor lain pun tidak menjadi masalah karena kita tidak dapat tidak mengingkari kondisi kekinian kita sebagai masyarakat pemilih yang masih buta politik.”

Kita seringkali terlibat dalam sebuah kampanye terbuka partai politik/calon legislatif hanya karena diajak, untuk bersenang-senang, untuk hura-hura (ikut ramai), dll, bukan karena kesadaran kita sebagai masyarakat politik. Kita cenderung mengikuti sebuah pertemuan yang bersifat sosialisasi hanya karena tidak tega menolak undangan sosialisasi yang telah dikirim ke rumah kita. Dan kadangkala kehadiran kita baik pada kampanye terbuka dan pertemuan-pertemuan sosialisasi karena ada daya tarik lain yang menggoda.

Ada ungkapan dalam dialek/bahasa Kupang yang sudah merakyat di hati rakyat pemilih: “Kalo beta ikut, beta dapat apa?” Dan secara psikologis, ungkapan ini dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh partai/caleg penyelenggara hajatan (kampanye terbuka/pertemuan akbar) untuk sebesar-besarnya kemakmuran (baca: kepentingan) partai/caleg.

Pengerahan massa pun dilakukan dengan berbagai trik: membagi-bagikan baju kaos gratis, memberi biaya transportasi, membayar para ojekers (tukang ojek) seadanya sebagai pengganti penghasilan mereka di hari hajatan tersebut. Begitu pula dengan hajatan-hajatan dalam skala yang lebih kecil; makan-minum bersama, membagikan souvenir (kalender, jam dinding, dll) menjadi sebuah daya tarik yang laku keras di kalangan rakyat kecil.

Apa yang baru saja dijelaskan di atas mengenai iming-iming dari partai/caleg kepada kita sebagai masyarakat pemilih pun tidak salah, karena sejauh ini kegiatan-kegiatan seperti yang telah disebutkan tidak terbukti sebagai atau bukanlah sebuah pelanggaran pemilu.

Namun kita sebagai masyarakat pemilih jangan menerima pemberian-pemberian tersebut sebagai sebuah kontrak kerja yang mengharuskan kita memilih partai/caleg dimaksud. Iming-iming tersebut bukanlah sebuah harga mati yang mengikat independensi (kebebasan) kita dalam menjatuhkan pilihan.

Kita sebagai masyarakat pemilih harus terbebas dari ikatan-ikatan apapun (lihat: bentuk-bentuk pendekatan di atas dan pemberian-pemberian yang diperoleh!). Kita walaupun buta politik dituntut untuk bisa cerdas dalam memilih calon-calon wakil rakyat yang tidak sedikit ini, agar tidak terkesan memilih kucing dalam karung.
“Caranya gampang…!”

Walaupun kita buta politik, tapi tidak buta hati nurani. Sebagai masyarakat yang hidup dan bersosialisasi dalam kehidupan beragama, janganlah kita mengabaikan suara hati nurani kita. Sebagai manusia religius, kita tentu memiliki nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran yang hakiki yang terpelihara di dalam hati kita.

Nilai-nilai tersebut adalah pedoman berharga yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai umat ciptaan-Nya yang paling mulia. Kita harus pandai-pandai mendengar bisikan hati nurani kita yang terdalam. Karena bisikan hati nurani adalah suara roh yang berasal dari Tuhan. Maka benarlah ungkapan Latin “Vox Populi Vox Dei”: Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (William of Malmesbury-abad ke-12).  

Walaupun kita buta politik, tapi tidak bodoh. Dalam hal memilih (memberikan hak suara), kita tidak harus melek politik. Kita tidak harus mengerti politik baru bisa memilih. Sebagai warga negara yang baik, kita diharuskan menggunakan hak pilih kita sebaik mungkin tanpa harus belajar untuk berpolitik/belajar politik terlebih dahulu.

Sebagai manusia yang dikaruniai oleh Tuhan akal budi, kita tentu memiliki standar-standar nilai kebaikan dalam diri tiap-tiap pribadi. Orang yang tidak beragama sekalipun memiliki standar nilai kebaikan yang dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai kebaikan orang lain. Tentunya setiap kita dapat dan berhak menilai apakah seorang calon itu baik menurut kita atau tidak untuk bisa mewakili aspirasi kita.

Dewasa ini kebaikan menjadi komoditi yang bisa direkayasa. Kebaikan telah menjadi trend musiman yang diresepkan hanya 5 tahun sekali (1x5 tahun, seperti resep dokter) setiap memasuki musim politik. Kebaikan sering diterjemahkan dengan memberi bantuan kepada rakyat kecil (baca: miskin) dengan dalih kepedulian, simpati dan empati, namun bukan tanpa syarat. Syaratnya: “Pilihlah aku jadi pacarmu!” Bantuannya pun diberikan sesuai dengan resep dokter di atas.

Padahal yang namanya rakyat miskin memang sepantasnya dibantu dan diperhatikan tanpa syarat apapun. Tentunya kita sebagai masyarakat pemilih bisa membedakan hal berbuat baik yang lagi marak di saat-saat menjelang pemilu ini sebagai kebaikan tulus atau kebaikan rekayasa. Pribadi yang baik tentu gampang memilahnya.

Walaupun kita buta politik, tapi beretika. Etika adalah sebuah nilai yang berhubungan dengan norma-norma dalam kehidupan pergaulan. Norma-norma tersebut menjelaskan tentang cara bergaul antar sesama dan kelompok (maupun negara) yang baik. Etika memiliki makna berupa aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.

Di sini kita semua sebagai masyarakat tentu memahami tentang apa itu etika. Malah kalau boleh dikatakan, kita sebagai rakyat kecil masih memelihara dan lebih mengedepankan  etika atau cara hidup yang baik dan bermoral dibanding lakon para tokoh/elit politik dan penguasa yang dipertontonkan di berbagai media. Saling menghormati dan menghargai, hidup dengan sopan santun dan tata krama sangat dijunjung tinggi oleh kita sebagai cerminan manusia yang beradab dan berbudaya.

Dalam menentukan pilihan kita, kita pun perlu menggunakan standar etika kita terhadap para calon yang sedang menjajakan dirinya. Kita perlu memiliki referensi tentang siapa para calon yang akan bertarung. Bagaimana cara hidup para calon di dalam kehidupan pergaulan sosial mereka sehari-hari. Karakter dan sifat dari para calon pun perlu ditelusuri sebagai sebuah track record yang patut menjadi pertimbangan. Memang tak ada gading yang tak retak, tapi kita harus menyeleksi yang terbaik dari yang terbaik.

Kita tentu bisa membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan orang yang baik dan orang yang tidak baik.  Oleh sebab itu pilihan kita harus jatuh pada calon/orang yang baik secara etika dan moral. Pilihlah orang-orang (calon) yang kita kenal secara baik dan pastikan bahwa orang/calon tersebut juga adalah orang yang baik. Pilihlah calon dengan track record yang baik, bukan calon yang merekayasa kebaikannya berdasarkan resep dokter: 1x5.

Walaupun kita buta politik, tapi punya harga diri. Kita adalah masyarakat pemilih yang memiliki harga diri. Harga diri adalah totalitas nilai dan kebanggaan diri kita yang tidak dapat tergantikan oleh apapun baik harta ataupun materi. Nilai dan kebanggaan diri tersebut mencakup hati nurani, idealisme/paham, cita-cita luhur dan melakukan apa yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran.

Dalam menghadapi masa kampanye pemilihan legislatif dan sosialisasi saat ini, kita dihadapkan dengan berbagai macam figur calon yang mungkin saja sangat membingungkan. Di sana-sini terjadi tawaran visi-misi, sosialisasi diri, dan bahkan mungkin ada tawaran-tawaran menggiurkan lainnya yang bisa meruntuhkan dan melecehkan harga diri kita.

Kita harus cerdas menentukan pilihan kita pada calon anggota yang tepat. Kita memiliki otoritas dan hak penuh dalam menentukan pilihan kita yang terbaik tanpa harus tergoda untuk menggadaikan hak suara kita dengan nilai rupiah atau materi. Hak suara kita jauh lebih berharga dari rupiah. Hak suara kita jauh lebih tinggi dari materi. Hak suara kita adalah harga diri kita. Hak suara kita adalah jati diri kita. Kita tidak perlu bersimpati kepada oknum-oknum yang merasa dapat membeli hak suara kita atau dapat menyogok hak suara kita dengan sejumlah materi.

Kita sebagai masyarakat pemilih juga tidak terlepas dari ruang/tempat dimana kita berada. Oleh sebab itu kita harus memilih calon yang diyakini dapat mewakili aspirasi kita dari tempat di mana kita berada. Pilihlah calon yang berasal dari tempat domisili kita yang sudah pasti akan lebih memahami kebutuhan-kubutuhan daerah pemilihannya dibanding dengan memilih calon dari luar.

Akhirnya, marilah kita menyukseskan pesta rakyat 5 tahunan ini dengan betul-betul menjatuhkan pilihan pada orang yang baik dan orang yang tepat demi kemajuan bangsa, negara dan daerah tercinta ini ke depannya. Kita mungkin buta politik, tapi tidak buta segala-galanya. Kita masih punya hati nurani, tidak bodoh, masih beretika dan punya harga diri.

1 comments:

  1. SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
    DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
    HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

    …TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…

    **** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
    1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
    2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
    3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
    4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

    …=>AKI KANJENG<=…
    >>>085-320-279-333<<<






    SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
    DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
    HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

    …TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…

    **** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
    1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
    2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
    3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
    4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

    …=>AKI KANJENG<=…
    >>>085-320-279-333<<<

    BalasHapus