"Maling Kandang": Cerita Pengantar Tidur Rakyat

Judul “Maling Kandang”: Cerita Pengantar Tidur Rakyat muncul ketika melihat pemberitaan di televisi (Selasa, 13 Januari 2015) seputar penetapan calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Cuma Catatan Harian Biasa

Tulisan ini cuma catatan harian biasa sebagaimana judul yang terpancang (terpampang, pen) nyata di atas. Sahabat-sahabat kompasianer boleh dengan leluasa memutuskan untuk mau membaca catatan ini atau langsung saja pindah ke lain hati.

Jayalah di Laut, Indonesiaku!

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki perbandingan luas wilayah laut dan daratan sebesar 70% : 30%. Luas keseluruhan wilayah Indonesia didominasi oleh 2/3 wilayah laut dan hanya 1/3 wilayah daratan.

Panggung Rising Star Indonesia Gagal “Ber-endang-endut”.

Rising Star Indonesia (Only Star Will Rise!) di RCTI, Jumat 28 November 2014, memasuki babak Lucky Seven yang mengusung tema “Dangdut dan Melayu”.

Sakitnya tuh di sini…! Di gigi ini…!

Tulisan ini sengaja dibuat bertele-tele, tidak “to the open” (maksudnya: to the point). Maklum napsu curhat lagi berada di puncak tertinggi! Sebenarnya poin dari tulisan ini adalah “cara mudah dan ampuh menghilangkan rasa sakit di gigi yang sangat membandel/menyiksa.”

Sabtu, 17 Januari 2015

“Maling Kandang”: Cerita Pengantar Tidur Rakyat

Ilustrasi: Kompasiana

Oleh: Pietro T. M. Netti

Malin Kundang

Membaca judul di atas, sekilas mungkin saja perhatian kita tertuju pada nama/tokoh Malin Kundang, si anak durhaka; si anak biadab yang tega menyangkali ibu kandung-nya sendiri demi mempertahankan gengsi dan ego di hadapan istri dan pengikut-pengikutnya. Tentu kita semua pernah mengetahui dan/atau mendengar cerita tentang Malin Kundang si anak durhaka tersebut. Betapa cerita tersebut begitu membumi di seluruh pelosok negeri ini. Cerita ini hampir selalu menjadi cerita pengantar tidur oleh seorang ibu kepada anak-anaknya semasa kecil.

Cerita lokal asli Padang (Sumatera Barat) ini memang patut diceritakan kepada anak-anak agar kelak tidak durhaka kepada orang tuanya, khususnya durhaka kepada sang ibu yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anak tercintanya, sebagaimana yang dilakukan oleh si biadab Malin Kundang. Kita sebagai anak harus tetap menghormati orang tua kita apapun keadaan dan keberadaan mereka. Hukuman Tuhan adalah nyata dan pasti bagi mereka yang tega menyangkali, mengkhianati, dan/atau yang durhaka kepada orang tuanya apapun alasannya.

Maling

Judul “Maling Kandang”: Cerita Pengantar Tidur Rakyat muncul ketika melihat pemberitaan di televisi (Selasa, 13 Januari 2015) seputar penetapan calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semula ada beberapa judul yang terbersit dalam pikiran saya untuk dijadikan sebagai judul tulisan ini: Si Jenderal Maling, Si Penangkap Maling Ternyata Maling Juga, Maling Kakap Berbintang Tiga, dan Maling Berseragam Polisi.  

Keempat draft judul tersebut memiliki satu kata kunci yang sama yakni kata Maling.

“Ya, Maling!”

Saya lebih memilih kata maling untuk dilekatkan pada para pelaku korupsi daripada menggunakan kata koruptor itu sendiri. Walaupun hal ini dapat dikatakan sebagai meringankan beban yang harus dipikul oleh para koruptor atau bahkan bisa katakan sebagai sedikit memulihkan nama baik para koruptor yang seharusnya lebih bejat dari maling-maling biasa.

Sebenarnya koruptor adalah istilah yang tepat untuk mereka yang disangkakan melakukan tindak pidana korupsi (Baca definisi Korupsi menurut Wikipedia dan Kajian Pustaka!). Namun menurut feeling saya, koruptor yang seharusnya memiliki makna pelaku kejahatan bejat atau busuk telah mengalami degradasi makna yang cenderung membuat pelaku maupun keluarga pelaku merasa bangga dengan status tersebut.

Para pelaku korupsi saat digiring aparat pun masih berjalan dengan dada membusung dan kepala terangkat. Tidak jarang lambaian tangan bak nyiur melambai dan tebaran senyum ala selebriti menghiasi kamera para awak media. Hal ini pun didukung dengan perlakuan aparat keamanan yang masih menunjukkan sikap respect yang berlebihan kepada si pelaku-pelaku busuk dan bejat ini.

Beda halnya dengan apa yang terjadi pada pelaku maling ayam, pelaku maling jemuran dan pelaku maling lainnya. Sejak penangkapan di Tempat Kejadian Perkara (TKP), sudah pasti sang pelaku telah memperoleh banyak hadiah dari warga dan aparat. Hadiah bogem mentah di sekujur tubuh menjadi hadiah andalan bagi para pelaku, dan/atau bahkan hadiah timah panas di paha, betis atau kaki mereka.

Dalam keadaan seperti ini para pelaku sudah pasti meringis kesakitan, sibuk menyembunyikan wajah mereka agar kalau boleh mereka tidak dikenal oleh teman-teman dan kerabat-kerabat mereka. Jangankan senyum, lambaian tangan pun mustahil dilakukan dalam kondisi fisik dan psikis yang sudah ditekan dan tertekan ini. Jika ada pelaku maling ayam atau maling jemuran atau pelaku maling-maling lain yang bisa tersenyum dan melambaikan tangan maka patut dipertanyakan kondisi kesehatan jiwanya di dokter jiwa. Dan saya berani bertaruh, sudah pasti kondisi kejiwaannya terganggu alias “gila”.

“Mungkinkah para pelaku korupsi juga memiliki kondisi kejiwaan yang terganggu alias gangguan jiwa alias sakit jiwa alias gangguan mental alias sakit mental alias tidak waras alias gila?”

Maling Kandang & Malin Kundang

Sebenarnya topik Maling Kandang yang saya angkat dalam tulisan ini tidak 100% identik dengan cerita Malin Kundang. Nama Malin Kundang dibawa-bawa dalam tulisan ini hanya karena penyebutan dua suku kata awal (“Ma” dan “lin” = “Malin”) yang hampir mirip dengan kata Maling. Kata Maling, menurut hemat saya, sangat cocok untuk dilekatkan pada diri pelaku korupsi menggantikan kata/istilah “keren” koruptor.

“Kok Keren???”

Ya, kata/istilah koruptor disebut “keren” karena seharusnya kata/istilah ini menunjuk pada pelaku kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime) yang artinya juga seharusnya luar biasa bejat-nya, luar biasa busuk-nya dan luar biasa bobrok-nya. Tetapi kata/istilah ini telah mengalami pergeseran makna 180 derajat yang terkesan menjadi luar biasa hebat-nya dalam mengangkat harkat dan martabat pelaku, keluarga dan sanak familinya seperti yang telah saya paparkan di atas (Lihat Maling!).

Maling Kandang dipakai karena hampir mirip pengucapannya dengan Malin Kundang. Di samping itu, nama ini juga dipilih untuk menyetarakan para maling yang seharusnya bejat dan seterusnya itu dengan para maling ayam dan/atau para maling jemuran dan/atau para maling lainnya. Malangkandang saya tujukan kepada para pelaku korupsi yang idealnya memiliki watak dan mental maling, kepribadian nyolong, dan harkat dan martabat rendahan yang tidak berbeda dengan para pelaku maling pada umumnya yang cenderung dianggap lebih hina itu. Mereka, para koruptor, sebenarnya jangan merasa diri lebih hebat atau lebih bermartabat.

Jika mau disamakan, boleh juga, para koruptor sama hinanya dengan para maling, yakni memiliki mental, kepribadian, harkat dan martabat yang sama dengan para maling. Tetapi jika mau dibandingkan maka para koruptor sudah pasti lebih hina, lebih bejat, lebih busuk, lebih bobrok mental, kepribadian, harkat dan martabatnya daripada para maling. Dikatakan lebih hina, lebih bejat dan seterusnya, karena dampak yang ditimbulkan oleh aksi para koruptor ini luar biasa besar kerusakannya bagi hidup dan kehidupan rakyat miskin/kecil.

Sekali lagi, Maling Kandang adalah tipe manusia biadab di negeri ini yang berwatak maling, gemar merampok di kandang tetangga dan/atau merampas jerih payah dan hasil usaha/keringat orang lain. Maling Kandang adalah pribadi yang tidak memiliki hati nurani yang tega merampas hak hidup sesama anak bangsa yang lain yang justru hidup berkekurangan. Maling Kandang adalah tipe manusia bermuka badak dan berhati srigala yang bangga bersenang-senang di atas penderitaan rakyat miskin/kecil. Masih banyak lagi hal-hal nista yang layak di-copy-paste-kan pada diri para Maling Kandang tak bermoral ini.

Maling Kandang v.s. Malin Kundang

Jika kita menghadap-hadapkan kedua nama/tokoh yang sama-sama bereputasi bejat ini, maka kita bisa melihat ada beberapa persamaan dan/atau perbedaan yang mencolok, sebagai berikut:
  1. Maling Kandang adalah tokoh cerita yang nyata yang berasal dari pemberitaan di dalam cerita kehidupan yang nyata (kisah nyata) pula. Sedangkan Malin Kundang adalah tokoh cerita fiktif yang berasal dari legenda (cerita rakyat).
  2. Maling Kandang hidup bergelimang harta dengan cara tidak terpuji, yakni sengaja menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri/orang lain, mencuri uang milik rakyat, dan bersenang di atas penderitaan sesama di negeri sendiri. Sedangkan Malin Kundang, setahu saya, juga hidup bergelimang harta dan hidup sukses tapi karena usaha dan kerja keras di negeri orang (perantauan).
  3. Maling Kandang adalah tokoh yang berkelas ekonomi menengah ke atas atau tokoh elit kaya yang ingin terus menjadi kaya dan kaya dengan cara-cara busuk dan bejat hanya karena nafsu dan keserakahan. Sedangkan Malin Kundang adalah sosok pemuda miskin yang juga berasal dari keluarga miskin yang berusaha dan bekerja keras untuk bisa keluar dari jeratan kemiskinan diri dan keluarga (Mohon dikoreksi jika salah!).  
  4. Maling Kandang dan Malin Kundang adalah anak-anak durhaka. Jika Malin Kundang adalah anak yang durhaka kepada ibu kandungnya yakni tidak mau mengakui ibu kandungnya yang telah melahirkan dan membesarkan, maka Maling Kandang adalah anak bangsa yang durhaka kepada ibu pertiwi yang telah memberi kehidupan dan perlindungan.
  5. Jika dalam cerita Malin Kundang terdapat pesan moral yang berhubungan dengan kesombongan, keangkuhan, tidak tau diri, lupa diri, dan kedurhakaan kepada orangtua yang tidak boleh ditiru, maka dalam cerita Maling Kandang menghadirkan pesan moral dua kali lebih banyak dari cerita Malin Kundang. Pesan moral yang patut dikutuk dari kisah nyata Maling Kandang ini selain seperti yang terkandung dalam kisah Malin Kundang adalah: rakus, serakah, mementingkan diri sendiri, mencuri dari kepunyaan/hak milik dan hak hidup rakyat kecil atau orang-orang miskin, bersenang-senang di atas penderitaan rakyat, dan seterusnya, dan seterusnya (Lihat di atas!).
  6. Sebagaimana cerita Malin Kundang memberi pesan moral kepada setiap anak agar tetap berbakti kepada orangtua  dalam kondisi apapun keadaan mereka, kisah Maling Kandang inipun memberi pesan moral kepada setiap anak bangsa untuk tetap menjaga ibu pertiwi apapun keadaannya tanpa mengambil apa yang bukan menjadi haknya.
  7. Hukuman Tuhan untuk si Malin Kundang adalah nyata dan pasti, kapal yang ditumpangi dan seluruh isi kapal karam dan menjadi batu. Begitu pula dengan hukuman Tuhan untuk si Maling Kandang akan nyata dan pasti pula seiring perputaran roda waktu. Ungkapan “Kalau bukan sekarang kapan lagi” sudah ditakdirkan Tuhan untuk tidak berlaku bagi para Maling Kandang, melainkan “Kalau bukan sekarang pasti nanti”. Fakta telah membuktikan bahwa banyak pelaku korupsi yang terjerat jauh hari setelah masa keemasan mereka.
  8. Malin Kundang telah menjadi cerita rakyat yang melegenda yang sarat dengan pesan moral untuk tidak ditiru oleh anak-anak terhadap orangtuanya. Maling Kandang pun patut menjadi cerita bagi seluruh rakyat Indonesia  yang diangkat dari sebuah kisah nyata di negeri tercinta ini yang memiliki pesan moral yang lebih sarat lagi agar bisa dihindari oleh segenap anak bangsa di masa-masa yang akan datang untuk kemajuan bersama.
Penutup

Tulisan ini hanya merupakan buah pikiran saya sebagai rakyat kecil (yang samasekali tidak memiliki power apa-apa) yang terperangah melihat maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi sebegitu massif-nya. Sebagai rakyat, saya hanya bisa mendukung gigihnya upaya pemberantasan maupun pencegahan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Maju terus, KPK! Kalau bukan sekarang pasti nanti!”

Akhir kata, kalaupun dalam tulisan ini terdapat kata-kata yang terasa kasar dan/atau yang kurang berkenan, jangan simpan di hati. Ini semata-semata bentuk ekspresi kegemasan saya secara pribadi melihat kenyataan yang sebenarnya sangat memprihatinkan nasib bangsa dan negara ini ke depannya yakni menuju Indonesia Jaya, Indonesia Makmur dan Indonesia Sejahtera.

“Aku cinta… Anda cinta… Kita cinta INDONESIA!”

[http://hukum.kompasiana.com/2015/01/17/maling-kandang-cerita-pengantar-tidur-rakyat-696961.html]

Kamis, 08 Januari 2015

Cuma Catatan Harian Biasa

Ilustrasi: ilmuwancilik

Oleh: Pietro T. M. Netti

Tulisan ini cuma catatan harian biasa sebagaimana judul yang terpancang (terpampang, pen) nyata di atas. Sahabat-sahabat kompasianer boleh dengan leluasa memutuskan untuk mau membaca catatan ini atau langsung saja pindah ke lain hati. Seluruh hak saya serahkan kepada sobat-sobatku yang baik hatinya untuk memutuskannya sendiri, karena lagi-lagi ini cuma catatan harian biasa.

Memasuki tahun yang baru, tahun 2015 di penghujung hari ke-7 menjelang hari ke-8, saya masih saja belum mendapatkan ide yang tepat sekaligus menarik atau up to date untuk mulai menulis di kompasiana maupun di blog-blogku yang lain, padahal informasi/berita aktual banyak yang berseliweran di sekitar kita. Lebih tepatnya, saya masih belum mendapatkan mood yang bagus untuk membangkitkan gairah menulis yang mungkin butuh “di-on clinic-kan”. Maklum, masih menunggu hari baik! (He2x…).

“Apakah catatan harian ini bukan termasuk bentuk ide yang dituangkan dalam tulisan?”

“Kurang paham! Pokoknya yang saya rasa adalah belum ada ide yang tepat dan mood yang baik untuk menulis!”

“?????”

Sambil tetap berharap datangnya hari baik suatu saat nanti, saya tetap berselancar ke berbagai penjuru media sosial walaupun hanya sebagai subyek pemerhati tanpa beropini. Saya cukup menjadi pengunjung pasif yang berusaha menelan semua informasi yang diperoleh. Setiap kali menyempatkan waktu berkunjung ke kompasiana, saya hanya bisa kagum dan terpesona karena banyak sekali tulisan dari para kompasianer yang selalu dan tetap muncul dengan berbagai topik/ide segar yang tentu saja menarik, bermanfaat, inspiratif dan aktual.

Melihat kenyataan ini, saya bertanya-tanya pada rumput yang bergoyang…eh…pada diri sendiri: “Apa yang mau anda tulis, Pietro?” Pertanyaan ini selalu saja menggelitik nurani saya setiap kali melihat traffic tulisan di kompasiana dari teman-teman kompasianer yang gak ada matinya.

“Salut untuk para kompasianer yang selalu on di setiap waktu dan kesempatan!”

Padahal mau dibilang di sekitar kita selalu menghadirkan banyak hal yang bisa dijadikan topik/ide untuk mulai menulis. Tapi memang kalau lagi usus buntu (He3x… “buntu ide” maksudnya), apa saja yang terjadi di depan mata, hanyalah angin lalu. Mata ini hanya bisa melihat dengan tatapan kosong, atau hanya bisa melirik tanpa gairah menggelora layaknya kesan pertama yang tidak menggoda. Atau bisa jadi yang kita lakukan hanyalah memandang dengan sebelah mata pada kejadian-kejadian tersebut tanpa menyimak, mengobservasi dan meneliti lebih jauh untuk didokumentasikan dalam bentuk catatan-catatan.

Ini menjadi salah satu titik lemah kita yang hanya mau mengandalkan atau terbiasa dengan fungsi daya ingat (yakni mengingat dan menghafal) semata terhadap suatu kejadian/peristiwa penting yang mungkin saja akan sangat bermanfaat di masa-masa yang akan datang. Kita cenderung hanya senang mengenang dalam pikiran sebagai kenangan terindah tanpa berniat mencatat dalam bentuk data tertulis. Kenangan pasti lekang dimakan usia si pengenang, tapi data tertulis akan tetap hidup melampaui usia si pencatat data.

Bicara tentang mengingat dan menghafal membawaku kembali ke masa-masa sekolah dulu terutama saat menghadapi masa-masa ujian baik semester-an maupun ujian akhir sekolah. Banyak di antara kita yang selalu mempersiapkan diri dengan cara mengingat dan menghafal materi-materi pelajaran untuk menghadapi ujian tersebut. Membaca atau belajar bukan untuk dimengerti/dipahami, tetapi belajar untuk bisa mengingat/menghafal. Bahkan ada yang sampai mengunyah dan kemudian menelan buku-buku catatannya sendiri supaya bisa lebih kuat ingatannya (He4x… “Just kiddingI”).

Memang cara tersebut cukup manjur untuk bisa membuat kita bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan baik, dan bisa naik kelas dan/atau lulus dengan selamat. Tapi kalau mau jujur, setelah naik kelas atau lulus, materi-materi yang dipelajari banyak yang hilang tak berbekas dari ingatan kita. Karena memang tujuan belajar (mengingat dan menghafal) tersebut hanya untuk tujuan jangka pendek yakni hanya untuk menghadapi ujian saat itu. Jadi jangan heran kalau ada siswa yang baru saja naik ke kelas dua misalnya tidak mengingat lagi materi-materi yang diperolehnya di kelas satu, dan sebagainya.

Kembali ke laptopnya Tukul!

Sejak Desember 2014 lalu, saya hanya menjadi peselancar (blogger/kompasianer) pasif. Jika dilihat, sebenarnya banyak hal berupa beberapa kejadian dan peristiwa penting dan menarik yang seharusnya bisa menjadi topik bahasan tapi saya lewatkan begitu saja. Yang masih segar dalam ingatan kita adalah tentang hilang kontaknya pesawat Air Asia dengan kode penerbangan QZ 8501 pada 26 Desember 2014 lalu yang akhirnya diketahui mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh kru dan penumpangnya.

Masih berhubungan dengan Air Asia, pengerahan seluruh kekuatan dan armada oleh pemerintah baik dari Basarnas, TNI, Polri, dan seluruh komponen masyarakat lainnya untuk mencari para korban yang patut diacungi 2 jempol pun seharusnya bisa menjadi perhatian saya.

Hal lain yang juga masih segar dalam ingatan kita adalah tentang penurunan harga BBM (bukan Blackberry Messenger seperti kata bang H) oleh pemerintah dari level Rp. 8.500,-/liter ke level Rp. 7.500,-/liter (Mohon dikoreksi jika salah!) yang masih menyisakan polemik berkepanjangan.

“Bukankah ini adalah sebuah bentuk kecerobohan pemerintah saat ini yang sangat tergesa-gesa atau terburu-buru menaikkan harga BBM di tengah-tengah turunnya harga minyak dunia?”

“Bukankah ini juga sebagai bentuk ketidakmatangan dalam hal pengambilan kebijakan dan keputusan oleh pemerintahan Jokowi saat ini di awal kekuasaannya?”

Itulah dua dari sekian banyak pertanyaan yang masih tersembunyi di dibalik otak kiri atau otak kanan saya. Mungkin ada alasan logis dibalik kebijakan/keputusan pemerintah tersebut, tapi dampak kenaikan BBM sebelumnya sudah sudah sangat mencekik rakyat kecil. Rakyat kecil tercekik bukan karena harga BBM yang tinggi, tapi karena kebijakan menaikkan harga BBM tersebut juga membuat seluruh harga bahan kebutuhan pokok ikut melambung ke angkasa. Sangat jelas daya beli rakyat yang lagi tiarap tidak mampu menggapai langit.

“Apa mungkin pemerintah bisa menjamin bahwa dengan menurunkan harga BBM sekian persen tersebut, otomatis akan membuat harga-harga barang bisa ikut merangkak turun sekian persen pula?”

“Rasa-rasanya mustahil bisa terjadi!”

Dari perspektif rakyat kecil, saya berpendapat bahwa harga BBM yang sudah dinaikkan seharusnya tidak perlu diturunkan lagi. Rakyat kecil sudah teruji kuat dan mampu beradaptasi untuk menjaga hak hidupnya di tengah keterpurukan daya beli yang kian merayap. Sekarang harga BBM sudah turun, tapi kalau boleh pemerintah harus bisa menjamin 100% bahwa harga BBM yang sudah turun tersebut tidak dinaikkan kembali suatu saat nanti dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Ini dilakukan agar harga-harga bahan pokok tadi tidak naik dua kali, sehingga membuat rakyat kecil menderita dua kali juga atau menderita berulang-ulang.

Sebagai Jokowiers (He2x…ketahuan belangnya) saya hanya bisa menelan ludah (ludah sendiri) dan berusaha menutup telinga rapat-rapat dari cercaan dan umpatan dari mereka yang sejak awal antipati terhadap Jokowi. Dan masih banyak hal menarik lainnya yang sengaja dilewatkan dari perhatian saya.

Namun demikian, walaupun ada banyak yang luput, ada banyak hal lain yang ternyata telah menjadi konsentrasi saya dan harus saya jalani. Mungkin saja hal yang luput dari perhatian saya telah menjadi perhatian dari sobat-sobat kompasianer yang lain, tapi mungkin juga hal-hal lain yang telah dan harus saya jalani di bulan Desember lalu tidak dijalani oleh sobat-sobat kompasianer. Jika demikian maka skor kita sama alias seri: 0:0, atau 1:1, atau 5:5, dan seterusnya. (He2x…Akhirnya sama juga!).

Jika ditanya, “Manakah yang lebih penting antara hal-hal yang saya lewatkan dan hal-hal yang telah dan harus saya jalani?”

Pertanyaannya gampang-gampang sulit sekaligus sulit-sulit gampang. Tapi kalau saya dipaksa (He2x… ”Siapa yang paksa?”) untuk harus menjawab pertanyaan tersebut, maka jawaban saya adalah “Hal yang telah dan harus saya jalani yang lebih penting!” Alasannya: “Kalau tidak penting maka tentu saya sudah memilih untuk tidak melewatkan kejadian-kejadian dan/atau peristiwa-peristiwa penting/menarik tersebut!” (He2x… “Alasannya konyol!”).

Sebenarnya kedua hal yang saya sebutkan di atas sama pentingnya, tergantung pada pilihan dari tiap-tiap orang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing orang tersebut. Bisa saja, ada orang lain yang lebih memilih hal pertama sebagai hal yang lebih penting, dan itu sah-sah saja. Jika tidak maka ia pasti lebih memilih hal yang kedua dan mengabaikan hal pertama sebagaimana yang saya lakukan belum lama ini. Dan lagi, yang disebut sebagai alasan konyol di atas juga akan menjadi alasan kuat bagi setiap orang di saat harus memilih. (He2x...Alasan konyol menjadi alasan kuat?).

Terus terang, sampai pada bagian ini pun, saya belum juga mendapatkan mood yang saya harapkan sebagai pemicu gairah, sedangkan catatan harian yang saya buat ini pun semakin membingungkan. Ada sebagian orang (atau lebih tepatnya, kebanyakan orang) mengatakan: “Jika anda ingin menulis, tulislah apa saja yang ada dalam pikiran anda!”

Mungkin saja benar anjuran ini, tapi untuk saat ini bahkan di banyak kesempatan yang lain anjuran ini selalu tidak benar untuk saya. Apa yang saya tulis selalu berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran saya. Contohnya seperti yang sedang saya alami sekarang ini; catatan harian ini muncul tak terduga dari sebuah kehampaan. “Aneh tapi nyata!” Tidak ada apa-apa dalam pikiran saya saat ini, maksudnya yang ada dalam pikiran saya saat ini tidak sama persis dengan catatan yang sedang saya tulis ini. Yang tertuang dalam tulisan tidak mencerminkan apa yang sedang pikirkan. Dan saya harus lapang dada menerima apapun hasilnya, walaupun bisa sangat membingungkan atau bisa jadi akan sangat memalukan. (He3x…).

“Mungkin ini yang dinamakan sebagai membuat yang tiada menjadi ada?”

“Ah…masa’?”

“Iya…, buktinya tulisan ini hampir kelar, muncul dari sebuah kekosongan pikiran! Yaah…walaupun tulisan ini akan sangat membingungkan atau akan sangat memalukan!” (He3x…).

“Berarti apa yang sedang saya buat saat ini masuk dalam kategori sebagai sebuah karya penciptaan?” (Ehem…baca: karya dan kreasi).

“Ya, iya laah…! Masa’ iya dong…? Karya penciptaan yang akan mencoreng nama baik!” (Ha3x… Monolog ini tidak untuk ditanggapi dengan serius! Cuma asal!).

Sudah tentu sobat-sobat kompasianer yang sejak awal telah memutuskan pindah ke lain hati sedikit pun tidak mengetahui kekonyolan yang sedang saya buat ini. Tapi bagi sobat-sobat kompasianer yang terlanjur menggunakan haknya untuk terus membaca sampai pada detik ini tentu telah mencatat berbagai kekonyolan yang saya buat melalui catatan harian ini. Jika di bagian awal sahabat-sahabat kompasianer telah diberi hak untuk boleh dengan leluasa memutuskan…, maka kini hak itu saya cabut demi melindungi nama baik sesama. (He2x..).

Di bagian akhir ini kiranya sahabat-sahabat kompasianer wajib tutup mulut akan apa yang telah saya lakukan yang bisa berpotensi menjadi aib pribadi ini. (He3x…). Menutup catatan harian yang aneh ini, sudi kiranya sobat-sobat kompasianer juga mau membaca pantun yang juga aneh ini (sebuah modifikasi yang tidak bertanggungjawab. “Jangan ditiru!”):

Kalau ada jarum yang patah, jangan disimpan di dalam hati…
Kalau ada kata yang salah, jangan disimpan di dalam peti.
Kalau ada jarum yang salah jangan disimpan di dalam peti…
Kalau ada kata yang patah jangan disimpan di dalam hati.


Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita bertemu kembali.
Kalau ada umur yang panjang, bolelah kita menumpang mandi…
Kalau ada sumur yang panjang, bolehlah kita menumpang mandi…
Kalau ada umur di ladang, bolehlah kita bertemu kembali.

“Ha3x…! Salam!”

[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2015/01/07/cuma-catatan-harian-biasa-695455.html]